Jakarta, FORTUNE - Lululemon Athletica, merek pakaian olahraga premium asal Kanada, menghadapi tekanan bisnis yang signifikan di tengah melambatnya penjualan, meningkatnya biaya produksi, dan ancaman tarif impor baru dari pemerintah Amerika Serikat. Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, perusahaan mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 150 pegawai korporat, sebagian besar dari kantor pusatnya di Vancouver.
Pemangkasan ini dilakukan sebagai bagian dari restrukturisasi menyeluruh yang dirancang untuk menyederhanakan operasional dan menjaga profitabilitas. Menurut laporan Seeking Alpha, langkah tersebut menjadi sinyal bahwa Lululemon—yang selama ini dikenal stabil dan tahan terhadap gejolak industri ritel—mulai terdampak oleh kondisi makroekonomi dan tekanan persaingan.
Dalam laporan keuangan kuartal I-2025, Lululemon membukukan pertumbuhan pendapatan bersih sebesar 7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan total mencapai US$2,2 miliar. Namun, di pasar utamanya yaitu Amerika, penjualan sebanding justru mengalami penurunan sebesar 2 persen. Penurunan ini mencerminkan melemahnya daya beli konsumen, khususnya dari kelompok pelanggan setia yang selama ini menjadi tulang punggung kekuatan merek Lululemon.
CEO Lululemon, Calvin McDonald, menjelaskan bahwa pemangkasan pegawai difokuskan pada pusat dukungan toko dan dilakukan untuk menyederhanakan struktur bisnis. Ia juga mengungkapkan bahwa perusahaan tengah mempertimbangkan penyesuaian harga pada beberapa produk sebagai upaya mengompensasi tekanan biaya akibat tarif. Namun, strategi menaikkan harga ini tidak tanpa risiko, mengingat permintaan pasar yang tengah melesu.
“Langkah ini kami lakukan untuk menyederhanakan bisnis dan menjaga efisiensi,” ujar McDonald dalam panggilan konferensi hasil keuangan perusahaan, mengutip The Street (23/6).