Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Jaden Smith (instagram.com/c.syresmith)
Jaden Smith (instagram.com/c.syresmith)

Jakarta, FORTUNE – Jaden Smith, musisi, aktor, sekaligus aktivis berusia 27 tahun, resmi ditunjuk sebagai direktur kreatif lini pria Christian Louboutin. Ia akan pindah ke Paris untuk mengawal peluncuran empat koleksi per tahun, termasuk sepatu, barang kulit, aksesori, serta menggarap kampanye, acara, dan pengalaman imersif.

Dalam laporan yang dikonfirmasi langsung oleh Christian Louboutin dan Smith, Women’s Wear Daily menulis bahwa sang desainer tetap akan mengawasi divisi prianya. Namun, tanggung jawab kreatif kini berada di tangan Smith. Penampilan perdananya dijadwalkan Januari mendatang dalam ajang Paris Men’s Fashion Week.

“Ini adalah salah satu kehormatan terbesar dalam hidup saya, dan saya merasa memiliki beban besar untuk bisa menyamai semua pencapaian yang telah dilakukan Christian bagi rumah mode ini, sekaligus mengambil peran yang begitu serius,” ujar Jaden Smith, yang juga merupakan putra Will Smith dan Jada Pinkett Smith, melansir AP News.

Louboutin menegaskan bahwa Smith adalah satu-satunya kandidat yang ia pertimbangkan. Dengan penunjukan ini, ia berharap bisa lebih fokus mengembangkan lini wanita, sementara Smith diharapkan membawa energi baru ke divisi pria yang kini menyumbang 24 persen dari bisnis Louboutin namun tengah mengalami penurunan. “Ia punya cara melihat sesuatu, mencerna, lalu mentransformasinya dengan cara yang sangat selaras dengan cara saya bekerja,” kata Louboutin.

Meski demikian, keputusan ini langsung menuai kritik. Sejumlah media Prancis menyoroti tuduhan nepotisme, mengingat hubungan pertemanan lama antara Louboutin dan Will Smith. Tuduhan favoritisme itu semakin kuat karena Jaden tidak memiliki latar belakang profesional layaknya desainer lain, baik pendidikan formal maupun pengalaman teknis.

Melansir Infobae, kontroversi penunjukan Smith berakar pada dua hal: profil publiknya yang penuh polemik dan keraguan soal kapasitasnya. Karier Jaden memang kerap dibayangi kontroversi—pada 2015, majalah NY Magazine bahkan menyebutnya sebagai “aktor paling dibenci” di Hollywood. Ia pernah menuai kecaman karena berdandan menyerupai pasien COVID-19 saat pandemi, juga karena klaimnya bahwa ia “lebih unggul dari siapa pun seusianya berkat pendidikan istimewa” yang ia dapatkan.

Meski demikian, langkah ini tetap dipandang strategis oleh Louboutin. Sang desainer menilai, “Dunianya kaya dan multidimensional, gaya serta sensitivitas budayanya menginspirasi, rasa ingin tahunya luar biasa. Saya merasa dengan arahan kreatifnya, koleksi pria kami akan berkembang dengan cara yang menarik dan dinamis. Ia adalah pelengkap ideal bagi tim kreatif kami, dan saya sangat menantikan bekerja dengannya”.

Strategi menyasar generasi muda

Penunjukan Smith juga mencerminkan strategi Louboutin untuk merangkul generasi baru. Karier Jaden yang tidak melalui jalur tradisional desainer kontras dengan standar industri. Namun, ia memiliki pengalaman lain—mulai dari keterlibatannya di barisan depan berbagai runway hingga mendirikan label MSFTSrep (Misfits Republic) bersama adiknya, Willow Smith.

Menurut Infobae, langkah ini diarahkan untuk menarik konsumen Generasi Z dan milenial, yang memiliki perspektif berbeda terhadap produk mewah dibanding konsumen tradisional yang lebih tua dan menekankan craftsmanship klasik. Ujian sesungguhnya akan datang pada Januari mendatang, saat publik menilai apakah pendekatan disruptif Jaden mampu selaras dengan warisan Prancis yang melekat pada Christian Louboutin.

Publik mengenal Jaden Smith sejak kecil lewat film The Pursuit of Happyness (2006) bersama ayahnya, yang melejitkan namanya. Ia kemudian tampil di The Day the Earth Stood Still (2008), The Karate Kid (2010), dan After Earth (2013). Namun, berbagai kontroversi membuat kariernya meredup. Sejumlah kontrak dengan brand besar juga hilang akibat citra publik yang merugikan.

Kepribadiannya kerap dianggap provokatif dan menantang norma, baik di industri mode maupun film. Jaden mendefinisikan gayanya sebagai “fluid secara gender, urban, dan hibrida.” Ia bahkan menyebut dirinya dan keluarganya sebagai “ilmuwan yang mempelajari umat manusia,” sampai berani menyamakan dirinya dengan Galileo karena merasa menyampaikan hal-hal “revolusioner di masanya”.

Editorial Team