Gucci dan Prada Tutup Toko di Cina

Jakarta, FORTUNE – Sejumlah merek barang mewah global semakin mempercepat penutupan toko mereka di Cina, terutama di beberapa lokasi strategis di kota-kota besar. Hal ini terjadi di tengah melemahnya daya beli konsumen yang berimbas pada menurunnya pengeluaran pembelian barang mewah.
Konglomerat barang mewah asal Prancis, Kering, belum lama ini menutup dua toko Gucci di Shanghai setelah beroperasi lebih dari satu dekade. Sementara itu, Prada mengakhiri keberadaannya selama dua tahun di Bandara Internasional Hongqiao Shanghai.
Penutupan ini menambah daftar panjang delapan toko barang mewah yang tutup pada kuartal keempat tahun lalu serta dua toko lainnya pada kuartal sebelumnya. Beberapa merek besar yang terdampak termasuk Louis Vuitton, Chanel, Tiffany & Co, dan Bulgari, menurut data dari Linkshop.com yang dikutip oleh South China Morning Post (SCMP).
Penjualan merek mewah anjlok
Menurut Jelena Sokolova, analis ekuitas senior di perusahaan riset investasi Morningstar, penurunan penjualan barang mewah di Cina disebabkan oleh dua faktor utama.
"Sebagian besar merek mengalami penurunan tajam dalam penjualan di Cina daratan, tidak hanya karena sentimen konsumen yang lesu di dalam negeri, tetapi juga karena semakin banyak warga China yang berbelanja di luar negeri," ujar Sokolova, melansir VN Express International, Rabu (12/3).
Melemahnya belanja domestik dan meningkatnya pembelian di luar negeri menyebabkan penurunan penjualan barang mewah di Cina 18 hingga 20 persen pada tahun lalu. Menurut laporan konsultan Bain & Co pada Januari, angka ini kembali ke level tahun 2020.
Kategori yang paling terdampak adalah perhiasan dan jam tangan, karena konsumen kini lebih memilih aset yang dapat mempertahankan nilai.
Bain & Co juga memproyeksikan bahwa pasar barang mewah di Cina daratan akan stagnan pada 2025. Paruh pertama tahun ini diperkirakan masih penuh tantangan, dengan perbaikan pada paruh kedua yang didorong oleh dampak positif dari stimulus ekonomi.
Investor kehilangan kepercayaan pada industri mewah
Merek-merek barang mewah juga mengalami tekanan dari sisi investasi. Harga saham sebagian besar merek mengalami penurunan signifikan pada tahun lalu. Kering mencatat penurunan 39 persen, disusul oleh Burberry (turun 30 persen), LVMH (turun 13 persen), dan Moncler (turun 7,8 persen).
Menurut analisis majalah Fortune, perubahan perilaku konsumen turut berkontribusi terhadap melemahnya industri ini.
"Tas Louis Vuitton terbaru atau gaun mencolok Versace tidak lagi menarik—mereka kini lebih ingin bersikap praktis dan berinvestasi untuk jangka panjang," ungkap laporan tersebut.
Tren ini juga terlihat di kalangan konsumen kaya di Cina yang kini lebih memilih berinvestasi dalam properti mewah atau pengalaman eksklusif daripada membeli produk fesyen terbaru.
Marie Driscoll, analis ekuitas yang mengkhususkan diri dalam ritel barang mewah, menilai bahwa sejak 2019, harga barang mewah melonjak tanpa diimbangi inovasi, peningkatan kualitas layanan, atau daya tarik baru dari produk-produk tersebut.
"Tahun ini, hal itu benar-benar berdampak pada konsumen, dan kita merasakan dampaknya secara penuh," katanya.
Kesulitan yang dialami industri barang mewah juga berdampak pada sektor ritel. Pengembang properti dan pemilik pusat perbelanjaan di Cina menghadapi tantangan akibat meningkatnya tingkat kekosongan dan kelebihan pasokan.
Data menunjukkan, tingkat kekosongan pusat perbelanjaan di 11 kota di Cina daratan diperkirakan meningkat menjadi 10,5 persen tahun ini, naik dari 10,4 persen pada 2024. Pada puncak pandemi di 2022, angka ini bahkan sempat mencapai 11,4 persen—tertinggi sejak Savills mulai melacak data tersebut pada 2012.
Pengembang properti yang terdaftar di Hong Kong, Hang Lung Group, melaporkan bahwa pendapatan sewa dari pusat perbelanjaan mewah mereka di Cina daratan turun 4 persen pada 2024 akibat promosi harga yang agresif. Tingkat okupansi di cabang Wuhan mereka juga turun menjadi 85 persen dari 86 persen pada 2022.
Meski demikian, harga sewa tetap tinggi dan belum mengalami penurunan signifikan, menurut Sokolova dari Morningstar. Hal ini semakin menekan biaya operasional para peritel barang mewah.
Namun, ia optimistis dengan tabungan rumah tangga yang cukup besar, belanja barang mewah di Cina bisa pulih hingga 20 persen tahun ini.
Vincent Li, kepala riset untuk Cina utara di Savills, menilai bahwa merek-merek barang mewah sangat berhati-hati dalam membuka dan menutup toko fisik.
"Jika mereka memutuskan untuk mundur, itu menunjukkan adanya hambatan besar yang tidak dapat mereka atasi," katanya.
Guo Shan, mitra di Hutong Research, menambahkan bahwa preferensi konsumen kini semakin bergeser dari barang mewah tradisional.
"Alih-alih membeli tas mewah, konsumen kini lebih tertarik pada produk olahraga atau hiburan. Orang-orang tampaknya lebih memilih pengalaman dibandingkan barang," katanya.