Jakarta, FORTUNE - Riset perusahaan konsultan global, Alvarez & Marsal (A&M), menemukan fakta bahwa para emiten atau perusahaan terbuka di Indonesia masih tampak rapuh setelah pandemi.
Lewat laporan Indonesia A&M Distress Alert (ADA): Indonesian Companies Remain Under Stress Despite Post-Covid Recovery (2024), A&M mengungkap, situasi keuangan belum kembali ke tingkat sebelum COVID-19 dan pemulihan dari tekanan perusahaan tampak lamban di Indonesia.
Lebih dari 44 persen perusahaan yang mengalami kesulitan pada tahun 2022 sudah mengalami kondisi ini tiga tahun sebelumnya. Lalu, hanya 32 persen yang kembali ke status semula setelah pandemi.
Ini berbanding terbalik dengan negara yang ekonominya lebih maju seperti Inggris, yang mana hanya 24 persen perusahaan yang masih dalam kondisi tertekan dalam kurun waktu tiga tahun dan 65 persen di antaranya telah kembali ke status semula. Menurut Managing Director and Country Head A&M Indonesia, Alessandro Gazzini (Alex), itu karena di Inggris, perusahaan mendapat dukungan kuat dari sisi legal dalam hal restrukturisasi.
"Meskipun tanda-tanda pemulihan pascapandemi sudah mulai terlihat, banyak perusahaan di Indonesia yang masih berjuang menghadapi tekanan yang cukup besar, dan banyak yang tidak siap untuk menghadapi tantangan di masa depan," katanya, Kamis (18/1) di Jakarta.
Akan tetapi, para emiten itu masih bisa bangkit. Sebab, A&M menilai, 44% dari emiten memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan. Dengan perincian: 19 persen membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9 persen perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14 persen membutuhkan perbaikan secara simultan di kedua area itu.
Adapun, laporan ADA menilai kinerja keuangan 360 emiten di Indonesia yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari US$50 juta di 11 sektor industri. Indikator yang digunakan dalam indeks ADA adalah 17 indikator kinerja utama (KPI) untuk menilai ketahanan neraca keuangan dan pendapatan perusahaan, mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang sedang atau akan mengalami tekanan keuangan.