Kasus Evergrande Tidak Berdampak Buruk pada Sektor Properti Indonesia

Andai terjadi, tidak lebih dari sekedar kekhawatiran sesaat.

Kasus Evergrande Tidak Berdampak Buruk pada Sektor Properti Indonesia
Ilustrasi properti. (ShutterStock_sommart sombutwanitkul)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kasus Evergrande memang tidak memiliki dampak langsung pada perekonomian di Indonesia. Namun demikian, secara psikologis, kejadian yang menimpa perusahaan properti asal Tiongkok ini memunculkan perilaku hati-hati di pihak investor dalam negeri. Akibatnya, pasar surat utang di Indonesia agak sedikit tertahan.

Hal ini disampaikan Fikri C. Permana, analis Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), kepada Fortune Indonesia pada Senin (27/9). Menurutnya, situasi yang dialami Evergrande tidak hanya berpengaruh pada sektor properti global, tapi juga berpengaruh hingga ke surat utang korporasi secara global. “Penurunannya cukup tajam ya, baik dari bond maupun stock-nya juga. Dua-duanya kena sih,” ujarnya.

Namun demikian, menurut Fikri, sektor properti di Indonesia tidak begitu terpengaruh oleh kondisi Evergrande. Menurutnya, yang akan dominan adalah kekhawatiran sesaat. Harga properti maupun tingkat permintaan di Indonesia tidak terdampak karena perbedaan bentuk bisnis.

“Di Evergrande, yang jadi sumber pendanaan maupun nasabah mereka basisnya di dalam negeri. Saya pikir ini enggak ada hubungan langsung antara bisnis mereka dengan situasi di Indonesia. Jadi, harusnya dampaknya enggak terlalu ke sektor properti kita,” ujar Fikri.

Perbedaan situasi properti di Tiongkok dan Indonesia

Menurut Fikri, kasus Evergrande diperburuk karena rumah menjadi bentuk tabungan dan investasi masyarakat. Jadi, ketika situasi bisnis properti jeblok, maka hal ini akan berpengaruh pada total aset yang dimiliki. Sedangkan, di Indonesia, rumah bukan tujuan utama investasi. “Rumah kurang liquid. Beda dengan Tiongkok,” kata Fikri.

Evergrande, ucap Fikri, bentuk investasinya juga lebih mengarah ke bangunan bertingkat seperti apartemen. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang lebih mengarahkan investasinya ke rumah tapak.

Perkiraan pasar properti ke depan

Terkait pasar properti di Indonesia, Fikri berpendapat bahwa permintaan terhadap bangunan bertingkat memang akan sedikit tertahan. Tidak dapat dipungkiri, hal ini dipengaruhi oleh masalah Evergrande dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadikan bangunan bertingkat sebagai investasi.

Sedangkan, cara pandang yang berbeda diterapkan pada rumah tapak yang memang lebih umum dipilih oleh khalayak luas. Untuk pilihan ini, menurut Fikri tergantung permintaan tersebut datang dari kelas mana. “Kalau melihat situasi sekarang, kelas menengah ke bawah pendapatannya agak volatile dan risikonya lebih tinggi. Jadi mungkin permintaannya akan sedikit tertahan,” kata Fikri.

Namun, tidak demikian dengan kelas menengah ke atas yang tabungannya tumbuh cukup signifikan selama pandemi. Kondisi ini membuat permintaan rumah yang harganya berkisar antara Rp1 miliar-Rp5 miliar diperkirakan akan bertumbuh positif.

“Hal ini terlihat dari likuiditas yang masih sangat baik dengan tabungan di atas Rp2 miliar, bahkan bertambah saat pandemi. Ini jadi pendorong baru untuk sektor properti sementara waktu ini. Selain itu orang juga memanfaatkan PPnBM (Pajak Penjualan barang Mewah),” kata Fikri.

Kasus Evergrande justru jadi momentum positif bagi Indonesia

Lebih dari sekedar baik-baik saja, Direktur Panin Asset management, Winston Sual, justru beranggapan bahwa krisis Evergrande bisa jadi momentum positif bagi Indonesia. Kondisi Evergrande malah jadi pendorong pertumbuhan bagi emiten domestik.

“Saya lihat, efeknya buat Indonesia justru bagus. Pertama, ‘bisul’ mereka sudah pecah duluan, sehingga Tiongkok punya sektor properti yang sustain, dan sebagai salah satu negara pengimpor sumber daya alam dari Indonesia, permintaan bisa terus bertambah dengan sehat,” ujar Winston, seperti dikutip dari IDX Channel (27/9).

Menurutnya, fenomena yang terjadi di Tiongkok ini berpotensi membuka mata investor dunia bahwa risiko ketidakpastian yang berkaitan dengan regulasi di Tiongkok begitu signifikan. Hal ini bisa mengubah arus modal dari investor ke negara lain.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M