Sri Mulyani Sebut Ongkos Obligasi Hijau Masih Mahal

Pasar belum beri respons signifikan terhadap SBN hijau.

Sri Mulyani Sebut Ongkos Obligasi Hijau Masih Mahal
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat berbicara dalam Agenda G20, High Level Seminar on Strengthening Global health Architecture, Kamis (17/2). (Tangkapan layar YouTube Kemenkeu)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa ongkos untuk menerbitkan obligasi hijau lebih mahal. Pasalnya, butuh biaya lebih untuk memastikan proyek yang dibiayai oleh surat utang itu memenuhi aspek keberlanjutan atau ramah lingkungan. 

Kami memahami bahwa penerbitan obligasi semacam ini akan membutuhkan kepatuhan yang lebih terhadap pelaporan serta menjaga standar proyek hijau yang mendasari penerbitan obligasi ini. Jadi pada dasarnya biayanya jauh lebih tinggi," ujarnya dalam Opening Remarks: Joint G20/OECD Corporate Governance Forum, Kamis (14/7).

Bendahara negara menuturkan, sejak 2018 pemerintah telah menerbitkan obligasi hijau senilai US$4,8 miliar, termasuk dalam bentuk SBN berbasis syariah atau Sukuk. Hal lain yang coba diperkenalkan Indonesia ke pasar keuangan adalah obligasi pembangunan berkelanjutan. Tahun lalu, Indonesia merilis obligasi internasional senilai 500 juta euro dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menawarkan instrumen tersebut dengan tingkat bunga terendah yang pernah ada.

Ketika Anda berbicara tentang suku bunga terendah sekarang menjadi sangat langka. Karena tren kenaikan suku bunga," imbuhnya.

Sayangnya, respons pasar tak berbeda jauh dengan obligasi biasa yang diterbitkan pemerintah. "Pasar belum secara efisien dan adil menempatkan instrumen semacam ini, karena pasar tidak membedakan antara obligasi hijau dan non-hijau,"jelasnya

Kampanye ESG

Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga mengungkapkan masih banyaknya 'PR'' pemerintah untuk mempromosikan kaidah Environmental, social, and corporate governance (ESG) di Indonesia. Ini terutama karena fokus pemerintah hari ini lebih kepada bagaimana Indonesia dapat segera pulih dari pandemi.

"Juga bagaimana kita harus menghadapi peningkatan risiko yang berasal dari ketegangan politik global, dan bagai mana respons tersebut akan menciptakan kebijakan moneter yang sangat ketat," tuturnya.

Meski demikan, ia juga meyakinkan bahwa Indonesia akan terus membuat kemajuan dengan terus merancang proses pemulihan ekonomi tanpa perlu mengorbankan komitmen dalam mendorong perekonomian yang berkelanjutan. Namun ia juga menegaskan bahwa tugas tersebut tak hanya bisa dijalankan pemerintah melainkan memerlukan keterlibatan semua pihak.

"Kita harus terus berdiskusi serta berkolaborasi dan bekerja sama untuk terus memperkuat kemitraan dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan yang dapat mengadopsi dan mempraktikkan ESG," tandasnya.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M