Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Hari pasar modal Indonesia
Ilustrasi bursa efek indonesia (wikimedia commons/Bursa Efek Indonesia)

Jakarta, FORTUNE - Manajemen self regulatory organization (SRO) telah menemui pimpinan penyedia indeks MSCI di New York, Amerika Serikat (AS). Pertemuan itu berkaitan dengan rencana penyesuaian metodologi penghitungan free float konstituen saham Indonesia oleh MSCI.

Menurut Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, pertemuan itu diwakili oleh Direktur Utama BEI, Iman Rachman dan direksi SRO pada minggu lalu untuk menyampaikan masukan pelaku pasar tentang wacana tersebut.

"Harusnya sih, diskusinya cukup konstruktif ya, tetapi sekali lagi, kami tetap menghormati independensi dari penyedia indeks," kata Jeffrey kepada pers di ruang media BEI, Rabu (17/12). "Kita sama-sama lihat bagaimana itu [perkembangannya]."

Dalam diskusi itu, terdapat 2 poin utama yang SRO sampaikan kepada MSCI, yakni: ekspektasi agar penerapan metodologi penghitungan free float terbaru itu berlaku secara universal dan tidak bersifat diskriminatif.

Selain itu, SRO juga membuka ruang diskusi terkait kekhawatiran pihak MSCI terkait data free float efek saham Indonesia. "Kami menyampaikan Indonesia itu sudah menerapkan kriteria free float yang lebih ketat dibanding beberapa bursa lain," ujarnya.

Misalnya, di Indonesia, kepemilikan saham di atas 5 persen oleh satu pihak sudah tak dihitung dalam formula free float. Bursa di negara lain yang menggunakan ketentuan seperti itu adalah London Stock Exchange dan Stock Exchange of Thailand (SET).

Sementara di sejumlah bursa lain, kepemilikan saham di atas 10 persen oleh satu pihak masih masuk penghitungan formula free float. "Malaysia, Filipina, Jepang lebih longgar," kata Jeffrey.

Sebagai konteks, pada akhir Oktober 2027, MSCI meminta masukan kepada para pelaku pasar mengenai rencana menggunakan data publikasi pemegang saham KSEI sebagai tambahan referensi penghitungan free float saham emiten Indonesia.

Sebelumnya, emiten Indonesia hanya melaporkan daftar pemegang saham di atas 5 persen kepada BEI. Di sisi lain, data KSEI memuat kepemilikan sesuai kategori pemegang saham, sehingga memberi gambaran lebih detail tentang daftar pemegang saham di bawah 5 persen.

Di luar itu, MSCI pun mengajukan supaya estimasi free float akan ditetapkan sesuai nilai terendah di antara:

  • Free float hasil penghitungan data kepemilikan yang dilaporkan emiten dalam keterbukaan informasi, laporan, rilis pers, berdasarkan metodologi MSCI;

  • Usulan: Estimasi free float sesuai data KSEI, yaitu menggelompokan saham script (tak tercatat di data KSEI) dan kepemilikan 'korporasi' (lokal/asing), serta 'lain-lain' (lokal/asing) sebagai non-free float;

  • Alternatif: estimasi free float sesuai data KSEI dengan mengelompokkan saham script dan kepemilikan 'korporasi' tanpa menghitung kepemilikan 'lain-lain' sebagai non-free float.

Wacana tersebut belum berlaku. Hingga 31 Desember 2025, MSCI membuka kotak masukan dari para pelaku pasar. Setelah itu, hasil konsultasi dan diskusi tersebut akan MSCI rilis sebelum 30 Januari 2026. Apabila proposal itu resmi berlaku, maka implementasinya akan berjalan pada kocok ulang indeks, Mei 2026.

Menurut Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Sekuritas, Henry Wibowo, keputusan akhir dari MSCI akan menentukan pergerakan saham-saham emiten Indonesia yang berada dalam indeks tersebut pada semester-I 2026. Saham-saham yang dimaksud adalah saham emiten konglomerasi.

"Kalau ternyata hasilnya, definisi pemegang saham korporasi mau dihilangkan dari free float tidak jadi, saham-saham [yang naik karena] investor ritel dan saham-saham indeks ini terus naik. Tapi kalau tetap diimplementasikan, maka turun [saham-saham itu]," kata Henry dalam wawancara khusus dengan Fortune Indonesia (10/12).

Selain itu, keputusan MSCI juga akan berdampak terhadap partisipasi para investor ritel di awal 2026. Sebab, sepanjang 2025, minat investor ritel bergeser ke saham-saham konglomerasi.

"Jadi keputusan [MSCI] Januari itu penting," kata Henry. "Makanya ini bisa menjadi a tale of two half, di mana semester-I 2026 partisipasi ritel tetap tinggi, tapi mungkin semester-II akan ada pergeseran sedikit ke saham-saham yang sifatnya lebih ke saham investor institusional."

Editorial Team