MARKET

Garuda Indonesia Secara Teknis Bisa Disebut Bangkrut

Kondisi kinerja Garuda Indonesia melebihi Jiwasraya.

Garuda Indonesia Secara Teknis Bisa Disebut BangkrutShutterstock_eXpose
by
09 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE- PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk membukukan defisit pada ekuitasnya sebesar US$2,8 miliar. Level tersebut melampaui catatan minus PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Menengok kondisi tersebut, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan dalam rapat kerja di Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11) bahwa Garuda Indonesia secara teknis dapat dikatakan bangkrut

Menurut pria yang akrab disapa Tiko ini, kondisi tersebut terjadi lantaran perseroan sudah tidak lagi membayar kewajiban jangka panjang. Kewajiban yang dimaksud terdiri atas pembayaran utang terhadap bank-bank milik negara (himbara) serta penyelesaian sukuk global.

Selain itu, perseroan juga telah memangkas gaji para pegawainya sejak 2020. Sejumlah pembayaran gaji, termasuk untuk pejabat perseroan, pun ditahan.  

Ekuitas negatif disebabkan aset yang lebih kecil dari liabilitas. Dalam kasus Garuda, asetnya US$6,92 miliar, tapi liabilitasnya US$9,75 miliar. Untuk itu, Kementerian BUMN selaku pemegang saham Garuda Indonesia menilai perlu upaya restrukturisasi masif. Nantinya perseroan membutuhkan permodalan baru dari pemegang saham atau investor strategis sehingga peluang swastanisasi terbuka.
 

Skema restrukturisasi Garuda Indonesia

Garuda, kata Tiko, telah merilis proposal restrukturisasi untuk melakukan renegosiasi dengan para lessor guna menekan utangnya menjadi US$3,69 miliar.

Dalam proposalnya, Garuda Indonesia akan menempuh tiga skema restrukturisasi. Pertama, mengurangi jumlah pesawat dari 202 pada 2019 menjadi 134 pada 2022. Pengurangan tersebut sejalan dengan pemangkasan rute serta tipe pesawat.

Maskapai pelat merah ini, kata Tiko, akan berfokus menerbangi rute potensial dalam negeri. Sedangkan dari sisi jenis pesawat, emiten berkode GIAA tersebut bakal memangkas armadanya dari total 13 jenis menjadi hanya tujuh jenis.

Skema kedua, Garuda akan melakukan negosiasi utang atas kontrak sewa pesawat yang masih akan dipakai perseroan pada masa mendatang. Melalui renegosiasi tersebut, Tiko berharap biaya sewa pesawat Garuda dan anak usahanya, Citilink, turun 40-50 persen dari tarif saat ini.

Kemudian skema ketiga, Garuda akan menempuh pembatalan nilai utang dan tunggakan secara material. Pengurangan utang akan dilakukan untuk tipe-tipe kreditur tertentu.

Untuk kreditur BUMN, seperti Airnav, Gapura, dan bank-bank himbara, perseroan bakal menerbitkan zero coupon bonds (ZCB). Instrumen ini merupakan surat utang tanpa bunga hingga jatuh tempo.  

Selanjutnya untuk tunggakan terhadap Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, lessor, vendor, sukuk, bank swasta, hingga pembelian pesawat yang ditangguhkan, Garuda Indonesia akan menerbitkan new coupon debt. Sementara untuk utang pajak dan karyawan hingga obligasi wajib konversi, Garuda akan tetap menghitungnya sebagai utang penuh.

Tiko menyatakan sukses atau tidaknya upaya restrukturisasi bergantung pada negosiasi dengan para lessor. Menurut dia, Garuda memiliki tantangan untuk menempuh negosiasi dengan total 32 lessor dengan karakteristik yang berbeda-beda.

“Kita mungkin sekarang sepertiga pengaruh di proses ini, dan dua per tiga ada di kreditur. Karena kreditur yang lebih punya hak menentukan kelangsungan Garuda ke depan. Karena mereka sekarang mempunyai porsi kewajiban lebih besar daripada porsi ekuitas,” ujar Tiko.

Opsi melepas saham mayoritas Garuda Indonesia

Selain itu, Kementerian BUMN selaku pemegang saham Garuda Indonesia menilai perlu upaya restrukturisasi masif. Nantinya perseroan membutuhkan permodalan baru dari pemegang saham atau investor strategis sehingga membuka peluang Garuda Indonesia diswastanisasi. “Kami memang juga membuka opsi apabila nanti restrukturisasi berhasil dan kewajiban turun, untuk ada pemegang saham baru,” kata dia.

Namun, rencana tersebut masih menunggu persetujuan dari DPR untuk melakukan dilusi saham kepemilikan pemerintah. “Bahkan mungkin pemerintah menjadi tidak mayoritas lagi,” ujarnya.

Related Topics