Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IMG-20250904-WA0007.jpg
(Ki-Ka) Head of Research & Strategy, J.P.Morgan Indonesia, Henry Wibowo dan CEO & Senior Country Officer, J.P.Morgan Indonesia, Gioshia Ralie.

Jakarta, FORTUNE - J.P.Morgan Indonesia menilai saham-saham emiten teknologi masih memiliki prospek positif, seiring dengan transisi strategi bisnis mereka dari 'bakar uang' ke membukukan profit.

Head of Research & Strategy J.P. Morgan Indonesia, Henry Wibowo, mengatakan, sebelumnya fokus perusahaan teknologi adalah bakar uang, meningkatkan pangsa pasar, serta menghimpun pendanaan. Kini, mereka lebih fokus untuk menghasilkan keuntungan.

"Jadi mereka sudah belajar, they learn the hard way, kalau bisa disimpulkan," kata Henry, dikutip Jumat (5/9).

Katalisnya adalah kenaikan signifikan tingkat suku bunga di Amerika Serikat (AS) dalam 10 tahun terakhir, dari 0,25 persen pada Agustus 2015 menjadi 4,5 persen pada Juli 2025. Bahkan sempat mencapai level 5,5 persen pada periode 2023 hingga 2024.

Hal tersebut berdampak terhadap jumlah pendanaan dari para pemodal ventura, baik dari nilai maupun volume. Dikutip dari Tech in Asia, pada 2024, pendanaan ke startup Indonesia hanya mencapai 105 kesepakatan dengan nilai investasi US$760 juta.

Jumlah itu jauh menurun dari 2022, yakni 240 kesepakatan dengan nilai investasi US$3,81 miliar. Bahkan, lebih rendah dari pendanaan pada 2017, yang mencakup 125 kesepakatan dengan nilai US$1,49 miliar.

"Mengapa? Karena ketika suku bunga di Amerika Serikat naik ke 5 persen lebih, itu mencari uang [investasi] sudah susah. Sudah lebih mahal, pendanaan lebih susah. Jadi kalau tadinya mereka bisa tumbuh karena subsidi, sekarang [subsidi] sudah tidak ada," jelas Henry

Alhasil, para perusahaan teknologi pun mulai berkonsentrasi memperbaiki fundamental kinerja. Mulai dari EBITDA, yang menurut Henry satu level mendekati pendapatan operasional.

Dampak dari perubahan strategi itu mulai terefleksi pada laporan keuangan para emiten teknologi, baik yang tercatat di bursa internasional maupun Bursa Efek Indonesia (BEI). Grab, misalnya, membukukan EBITDA disesuaikan senilai US$109 juta pada kuartal-II 2025, naik 69 persen (YoY). Begitu juga dengan GOTO yang EBITDA disesuaikannya berbalik dari minus Rp85 miliar pada kuartal-II 2024, menjadi Rp427 miliar pada periode yang sama di 2025.

"Jadi makanya pandangan kami itu cukup optimistis [untuk sektor teknologi]. Dengan adanya penurunan suku bunga, harusnya juga positif ke mereka. Karena mereka ekspektasinya bisa fundraising jika dibutuhkan," kata Henry lagi. "Tapi semoga tidak mulai perang subsidi lagi, harapannya tetap fokus di profit."

Editorial Team