Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
20251230_153647.jpg
Ilustrasi penutupan perdagangan bursa di BEI, Selasa (30/12). (Fortune Indonesia/Tanayastri Dini)

Jakarta, FORTUNE - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan 2025 dengan penguatan sebesar 21,92 persen ke level 8.646,94 sepanjang tahun. Di balik laju IHSG itu, ada berbagai fakta yang telah dirangkum dalam kaleidoskop pasar modal Indonesia 2025.

Salah satu fakta yang banyak disoroti adalah momentum dari saham-saham konglomerasi. Stockbit Sekuritas mencatat, pergerakan saham konglomerasi terakselerasi pada 2025, setelah adanya tren kenaikan pada 2023 dan 2024.

"Sehingga dapat menopang IHSG ketika harga saham big 4 banks mengalami tekanan, hingga berhasil mendorong IHSG naik 22,1 persen dan mencapai rekor all-time high," demikian menurut tim analis Stockbit dalam risetnya, dikutip Rabu (31/12).

Sebagai konteks, selama perdagangan 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan, IHSG menyentuh level ATH sebanyak 24 kali. Pembalikan arah dari pergerakan IHSG sendiri terjadi pada semester-II 2025.

Kebijakan yang pasar modal implementasikan setelah koreksi dalam pada April 2025 akibat pengumuman tarif Amerika Serikat (AS), turut berperan dalam mengatasi risiko gejolak pasar saat itu. Misalnya, implementasi trading halt, penyesuaian ketentuan ARB (auto reject bawah), juga aturan terkait buyback saham oleh emiten tanpa RUPS.

"Sehingga ATH kita tercapai pada 8 Desember di 8.711. Kapitalisasi pasar menembus Rp16.000 triliun," kata Direktur Utama BEI, Iman Rachman.

Grup konglomerasi dengan penguatan saham signifikan

Ilustrasi PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). (Doc: https://bakrie-brothers.com)Doc:

Kendati demikian, laju saham konglomerasi pada 2025 bukannya tidak berhadapan dengan tantangan. Pada semester-I 2025, saham-saham tersebut sempat mendapat sentimen cenderung negatif karena wacana MSCI memperketat kriteria dalam pemilihan efek untuk indeks. Namun, saat rencana itu batal, sentimen berbalik pada semester-II 2025.

"Bahkan, momentum menguat ketika dalam pengumuman rebalancing MSCI Agustus 2025, 2 saham konglomerasi [DSSA dan CUAN] berhasil masuk ke dalam indeks MSCI Indonesia Global Standard," kata tim Stockbit.

Sebelumnya, J.P.Morgan Indonesia juga telah menyoroti fenomena penguatan saham-saham konglomerasi sebagai katalis kenaikan IHSG.

Lebih lanjut, terdapat 3 grup konglomerasi baru yang mendapat perhatian di pasar berdasarkan penguatan harga saham secara signifikan, yakni:

  • Happy Hapsoro

Beberapa saham dalam grup afiliasi Happy Hapsoro, yakni: BUVA (+2.680 persen), PADI (+1.130 persen), PSKT (+868,8 persen), RATU (+756,5 persen), dan RAJA (+124,3 persen).

  • Bakrie

Saham-saham dalam Grup Bakrie yang mengalami kenaikan pesat pada 2025, antara lain: MDIA (+780 persen), ENRG (+595,7 persen), VKTR (+550 persen), DEWA (+503,6 persen), BNBR (+262,9 persen), BRMS (+217,9 persen), dan BUMI (+210,2 persen).

  • Haji Isam

Terakhir, berikut sejumlah saham terkait Haji Isam yang harganya meningkat signifikan: PGUN (+2.205,4 persen), JARR (+941,9 persen), TEBE (+317,6 persen), dan FAST (+100,3 persen).

Sektor saham pembagi dividen tertinggi

ilustrasi dividen (pixabay.com/Gerd Altmann)

Di samping saham-saham konglomerasi, saham-saham dengan dividen juga masih menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatatkan, ada 480 emiten yang melakukan aksi korporasi berbentuk pembagian dividen.

Dari jumlah emiten tersebut, 5 sektor saham dengan distribusi dividen terbesar sepanjang 2025, mencakup:

  • Keuangan, perbankan: Rp80,34 triliun.

  • Energi, produksi batu bara: Rp27,95 triliun.

  • Infrastruktur, jasa telekomunikasi terintegrasi: Rp20,18 triliun.

  • Perindustrian, multi-sector holdings: Rp10,48 triliun.

  • Perindustrian, jasa telekomunikasi nirkabel: Rp10,46 triliun.

Kinerja efek selain saham

Pertamina berpartisipasi dalam peluncuran bursa karbon IDX, yaitu IDXCarbon pada Selasa (26/9). IDXCarbon diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. (Dok. Pertamina)

Di luar efek saham, bursa juga memiliki instrumen lain, seperti perdagangan karbon, Kontrak Berjangka Indeks Asing (KBI), Sistenm Penyelenggara Pasar Alternatif (SPPA) repo dan waran terstruktur, serta kontrak berjangka saham atau Single Stock Futures (SSF).

Hingga 29 Desember 2025, perdagangan surat utang melalui SPPA mencatatkan rata-rata volume transaksi harian sebesar Rp6,52 triliun. Sementara itu untuk perdagangan produk non-saham, nilai transaksi telah mencapai Rp7,65 triliun.

"Untuk unit karbon, transaksi telah tercatat sebanyak 2,89 juta ton CO2 ekuivalen unit karbon dari 9 proyek dengan nilai transaksi mencapai Rp30,12 miliar," kata Iman.

Seiring dengan realisasi tersebut, BEI dan SRO pasar modal pun telah menetapkan target untuk 2026, yang meliputi:

  • Pertumbuhan jumlah investor sebanyak 2 juta investor baru.

  • Rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) mencapai Rp15 triliun per hari.

  • Jumlah pencatatan efek baru di pasar modal mencapai 555 efek baru meliputi dari efek saham, obligasi/sukuk, Kontrak Investasi Kolektif (KIK) baru yang mencatatkan DIRE/DIRE Syariah, DINFRA, ETF, KIK-EBA/KIK-EBA Syariah, EBA-SP/EBA-SP Syariah.

Editorial Team