Jakarta, FORTUNE - Hingga pekan kedua September, fenomena September Effect tak kunjung terjadi. Sejumlah analis pun memperkirakan bahwa return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan positif dan masih akan berfokus pada proses pemulihan pasca Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Sosial (PPKM).
Namun, pada pekan ketiga September, salah satu perusahaan properti terbesar di Tiongkok, Evergrande, mengalami krisis keuangan. Diketahui, Evergrande selama bertahun-tahun membangun bisnisnya dengan bersandar pada utang. Hingga Selasa (14/9), perusahaan mengumumkan tidak dapat menjual properti serta asetnya untuk membayar pinjaman jatuh tempo mencapai US$300 miliar atau senilai Rp4.350 triliun.
Fortune Indonesia memberitakan pada Senin (20/9) harga saham Evergrande turun 10,2 persen. Sejak awal tahun, kapitalisasi pasar perusahaan ini merosot dari US$24 miliar menjadi US$5 miliar. Situasi ini jelas menyita perhatian para pelaku pasar ekonomi dunia. Mereka khawatir masalah ini akan merambah ke perekonomian Tiongkok yang selanjutnya berpotensi berdampak pada perekonomian global, termasuk Indonesia.
Menanggapi hal ini, Lionel Priyadi, analis Macro Strategy and Equity, Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), mengatakan problem masih akan berlanjut Oktober. “Hal ini karena dampak Evergrande berpotensi sistemik ke developer raksasa lainnya, serta sistem keuangan dan perbankan Tiongkok,” ujarnya.