ilustrasi saham (unsplash.com/Austin Distel)
Untuk lebih memahami saham beredar, maka bisa disimak ilustrasi berikut sebagaimana dilansir dari laman Stockbit :
Andi dan Bagus merintis perusahaan A dengan menyepakati modal dasar perseroan adalah Rp250 juta yang terdiri dari 1.000 lembar saham. Dengan begitu, masing-masing saham bernilai Rp250.000.
Meski demikian, Andi dan Bagus memutuskan hanya mengambil 800 lembar saham atau seniila Rp200 juta. Nah, jumlah lembar yang diambil inilah yang merupakan saham beredar. Saham milik Andi dan Bagus tersebut dapat diperdagangkan di antara keduanya maupun dengan pihak lain.
Sedangkan, 200 lembar saham sisanya yang belum menjadi milik siapapun disebut sebagai saham portopel. Jika perusahan A membutuhkan modal tambahan, maka 200 lembar saham portopel itu dapat ditebus oleh pemegang saham eksisting atau pemegang saham baru.
Dalam kasus perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah saham beredar adalah total jumlah seluruh saham yang dicatatkan oleh perusahaan saat penawaran umum saham perdana (IPO), lalu ditambah dengan saham lain yang diterbitkan ketika perusahaan melakukan aksi korporasi, seperti right issue (penerbitan lembar saham baru) maupun stock split (pemecahan nilai saham).
Jadi, jumlah saham beredar perusahaan ini tidak statis dan dapat berfluktuasi karena sejumlah alasan. Saham beredar akan bertambah jika perseroan menerbitkan saham tambahan. Perusahaan biasanya menerbitkan saham ketika mereka mengumpulkan modal melalui pembiayaan ekuitas, usai menggunakan opsi saham karyawan (ESO), atau instrumen keuangan lainnya.
Pun demikian, saham beredar akan berkurang jika perusahaan membeli kembali sahamnya melalui aksi korporasi pembelian kembali (buyback) saham.