MARKET

Covid-19 Naik Lagi, Apa Kabar Prospek Saham Kesehatan?

Mau tahu prospek saham kesehatan tahun depan?

Covid-19 Naik Lagi, Apa Kabar Prospek Saham Kesehatan?ilustrasi rumah sakit (unsplash.com/Adhy Savala)
21 December 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kenaikan kasus Covid-19 belakangan ini tampak menyengat pergerakan emiten pada sektor kesehatan. Lantas, bagaimana prospeknya ke depan?

Berdasarkan data per Kamis (21/12), indeks sektor kesehatan atau IDXHEALTH di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menguat 0,84 persen ke level Rp1.350,10 selama 5 hari perdagangan terakhir.

Puncak kenaikannya terjadi pada Rabu (20/12), yakni Rp1.391,26.

Berdasarkan data laporan harian perkembangan kasus Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, ada 2.886 kasus baru sepanjang 6-20 Desember 2023. Kasus baru per 20 Desember bertambah 7 persen atau sebanyak 486 dengan 4 kasus kematian. Angka itu berasal dari 3.985 test.

Peningkatan kasus pada 10-16 Desember tercatat sebagai yang tertinggi sejak akhir Agustus 2023 yang hanya 77 kasus.

Munculnya subvarian baru, Corona JN 1, telah mendongkrak kasus Covid tidak hanya di Indonesia, tapi juga Singapura dan Cina. Hal itu membuat WHO memberi peringatan. Sebab, subvarian tersebut telah merebak ke sejumlah negara sehingga menandakan virus Covid-19 masih berevolusi.

Kemenkes sendiri mencatat setidaknya ada 4 kasus JN 1 telah ditemukan di Indonesia, yakni 3 kasus di Jakarta dan 1 kasus di Batam per Selasa (19/12).

Lantas, bagimana dampaknya ke saham emiten-Emiten Kesehatan?

Dampak ke pergerakan saham emiten kesehatan

Dalam lima hari terakhir, saham-saham emiten kesehatan tercatat menguat. Misalnya, saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) yang melesat 55,67 persen ke Rp1.510. Sebulan terakhir, sahamnya telah naik 111,19 persen.

Menurut Investment Analyst Lead Stockbit Sekuritas, Edi Chandren, penguatan saham KAEF yang signifikan itu terjadi karena reaksi pasar.

"Kami menilai kenaikan harga saham itu sebagai overexcitement para pelaku pasar," tulisnya dalam riset.

Dari segi valuasi, dia mengatakan rasio price to earning (P/E) KAEF ada pada level 34,4 kali sehingga dinilai masih mahal. 

Saat Covid-19 memuncak pada 2021, KAEF berhasil membukukan laba bersih Rp302 miliar atau melesat 16,13 kali lipat dari Rp18 miliar pada 2020. Pendapatannya juga naik 29 persen (YoY).

Selain itu, saham-saham emiten kesehatan yang juga menguat dalam lima hari terakhir, di antaranya: PT Indofarma Tbk (INAF) yang naik 34,45 persen; PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) yang naik 40,74 persen; PT Hetzer Medical Indonesia Tbk (MEDS) yang naik 28,00 persen.

Di sisi lain, saham-saham emiten kesehatan yang bergerak pada bisnis perumahsakitan, tak menguat. Jika naik pun, angkanya tidak signifikan. Contohnya adalah PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) yang naik 1,47 persen dalam lima hari perdagangan terakhir. 

Tak berkaitan dengan pandemi

Direktur Utama Mandiri Sekuritas, Oki Ramadhana, mengatakan prospek pertumbuhan dari emiten sektor kesehatan tidak bergantung pada pandemi, tapi pada fundamental dan sahamnya.

"Fundamentalnya itu [di emiten] rumah sakit dan farmasi rata-rata baik sekali. Terbukti kami lihat dari investor asing, baik private equity maupun yang lain, sangat antusias mencari peluang di sektor ini," jelasnya kepada pers, Selasa (21/12).

Selain karena fundamental, menurutnya, katalis dari pengembangan dan perbaikan dari segi sistem informasi kesehatan juga mendukung prospek sektor ini.

Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer, mengatakan peluang pertumbuhan kinerja dari sektor kesehatan pada 2024, yakni:

  • Pendapatan: 11,8 persen (YoY).
  • EBITDA: 16,2 persen (YoY).
  • Laba bersih: 17,6 persen (YoY).

Lebih lanjut, Tim Analis Samuel Sekuritas, Jonathan Guyadi dan Brandon Boedhiman, mengatakan faktor risiko bagi sektor kesehatan ke depan, yakni perlambatan ekonomi dan penurunan pendapatan per pasien yang lebih buruk dari perkiraan. Khususnya untuk emiten yang bergerak pada bisnis rumah sakit.

Lalu, analis BRI Danareksa Sekuritas, Ismail Fakhri Suweleh, mengatakan ada faktor risiko lain seperti eksekusi pengontrolan biaya dan kompetisi dengan rumah sakit publik atau pemerintah.

Related Topics