Jakarta, FORTUNE - Perusahaan konglomerasi, PT Astra International Tbk (ASII) mencatat penurunan laba bersih sepanjang sembilan bulan pertama 2025. Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh melemahnya kinerja pertambangan, seiring dengan turunnya harga batu bara.
Sepanjang Januari-September 2025, Grup Astra mencatat penjualan 243 triliun, turun tipis 1 persen dari periode yang sama tahun lalu sebelumnya sebesar Rp246 triliun.
Penurunan pendapatan tersebut juga diikuti laba perseroan. Laba bersih Grup Astra, tidak termasuk penyesuaian nilai wajar atas investasi di GoTo dan Hermina, tercatat Rp24,7 triliun, 6 persen lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2024. Jika memperhitungkan penyesuaian nilai wajar tersebut, maka laba bersih Grup menurun 5,3 persen menjadi Rp24,5 triliun.
Djony Bunarto Tjondro, Presiden Direktur Astra International mengatakan, penurunan kontribusi dari bisnis jasa penambangan dan pertambangan batu bara menjadi salah satu penyebab di balik penurunan laba perseroan. Meski begitu, penurunan ini sebagian diimbangi oleh kinerja yang lebih baik dari bisnis pertambangan emas, jasa keuangan, agribisnis dan infrastruktur, sementara kinerja otomotif secara umum stabil.
“Laba Grup selama sembilan bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan terutama disebabkan harga batu bara yang lebih rendah. Kontribusi yang solid dari bisnis-bisnis lainnya turut mendukung resiliensi kinerja Grup, dan kami perkirakan kinerja tahun 2025 masih akan sejalan dengan tren kinerja Grup saat ini” kata Djony dalam keterangan resmi, Senin (3/11).
Di samping itu, nilai aset bersih per saham pada 30 September 2025 naik sebesar 6% menjadi Rp5.609. Kas bersih, tidak termasuk anak perusahaan Jasa Keuangan Grup, mencapai Rp13,4 triliun pada 30 September 2025, meningkat dibandingkan Rp8,0 triliun pada 31 Desember 2024.
Utang bersih anak perusahaan Jasa Keuangan Grup mencapai Rp64,6 triliun pada 30 September 2025, meningkat dibandingkan Rp60,2 triliun pada 31 Desember 2024.
Astra dan United Tractors, masing-masing, mengumumkan pelaksanaan program pembelian kembali saham (share buyback) dengan nilai maksimum Rp2 triliun, mencerminkan keyakinan manajemen terhadap prospek perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas yang berkelanjutan, selain menduking stabilitas pasar modal
“Kami tetap fokus untuk menjaga disiplin keuangan dan keunggulan operasional, serta memanfaatkan kekuatan neraca keuangan kami untuk menangkap peluang pertumbuhan dan meningkatkan nilai bagi pemegang saham,” katanya.
