Jakarta, FORTUNE - Sebanyak 19 blok minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia disiapkan untuk menjadi lokasi penyimpanan karbon melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Langkah ini menjadi bagian penting dalam upaya pemerintah dan pelaku usaha membangun ekosistem dekarbonisasi nasional sekaligus membuka peluang investasi baru pada sektor energi hijau.
Executive Director Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC), Belladonna Maulianda, menyatakan Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Sebagai gambaran, teknologi CCS pada dasarnya berfungsi menangkap emisi karbon dari kegiatan industri berbahan bakar fosil, kemudian menyimpannya di bawah permukaan bumi agar tidak mencemari atmosfer.
“Berdasarkan data ESDM, ada sekitar 19 feed projects atau proyek desain teknik awal CCS dari Sabang sampai Merauke. Proyek ini merupakan kombinasi antara onshore dan offshore, kombinasi tempat penyimpanan di depleted reservoir dan juga di saline aquifer atau di lapisan air yang konsentrasi garamnya tinggi,” kata Belladonna dalam konferensi pers International and Indonesia Carbon Capture Storage (IICCS) Forum 2025 di Jakarta, Selasa (7/10).
Beberapa blok migas yang sedang disiapkan untuk proyek CCS: ExxonMobil mengelola Cekungan Asri dan Lapangan Gundih, Cepu, Jawa Tengah; BP Indonesia di Blok Tangguh Ubadari, Papua Barat; INPEX di Blok Masela, Maluku; serta Repsol di Blok Sakakemang, Sumatra Selatan.
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) aktif mengembangkan proyek serupa melalui kemitraan dengan sejumlah perusahaan asing.
Belladonna menambahkan, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon di bawah tanah mencapai 600 gigaton. Kapasitas itu jauh lebih besar dibandingkan emisi karbon nasional yang mencapai sekitar 600 juta ton per tahun.
Dengan potensi sebesar ini, Indonesia tidak hanya mampu menampung karbon hasil industri dalam negeri, tetapi juga dari negara lain yang memiliki keterbatasan ruang penyimpanan.
“Potensi penyimpanan karbon di Indonesia sangat besar. Kalau dihitung, kapasitas 600 gigaton itu bisa digunakan hingga lebih dari 200 tahun. Jadi, cukup untuk menampung emisi dari dalam negeri sekaligus menjadi solusi bagi kawasan Asia,” ujarnya.