Charging Station (Pixabay/geralt)
Pada 2030 ditargetkan Negeri Matahari Terbit itu akan meningkatkan kapasitas produksi domestik baterai yang digunakan dalam EV dan sistem penyimpanan energi menjadi 150 GWh dari sekitar 20 GWh saat ini.
Tujuannya untuk memperluas kapasitas produksi global oleh pembuat baterai Jepang menjadi 600 GWh pada 2030 dari 60 hingga 70 GWh saat ini, dan akan menargetkan komersialisasi skala penuh dari baterai solid-state pada 2030.
Baterai adalah kunci bagi Jepang untuk mencapai netralitas karbon pada 2050, sebab baterai merupakan teknologi terpenting dalam elektrifikasi mobil dan perangkat mobilitas lainnya.
“Penting untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan listrik guna membantu meningkatkan penggunaan energi terbarukan,” ujar Nobutaka Takeo.
Sebelumnya, diberitakan Reuters, Jepang kemungkinan akan melarang penjualan mobil baru bermesin bensin pada pertengahan 2030. Larangan tersebut ditujukam untuk mendukung kendaraan hybrid atau mobil listrik.
Tindakan ini membuat produsen mobil Jepang seperti Toyota, Nissan dan lain-lain untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang lebih besar, dapat menggunakan teknologi kendaraan listrik yang telah mereka kembangkan di Jepang.
Boston Consulting Group (BCG) dalam sebuah laporan prospek mobil listrik berbasis baterai menyebut, di Jepang pangsa pasar kendaraan listrik diperkirakan akan meningkat menjadi 55 persen pada 2030.
"Kecepatan perluasan pangsa kendaraan listrik akan meningkat karena fakta bahwa harga baterai turun lebih cepat dari perkiraan sebelumnya," kata BCG dalam laporannya.
Pelarangan tersebut mengikuti beberapa negara di Eropa. Sebelumnya, Inggris mengumumkan larangan penjualan mobil bensin dan diesel baru pada 2030. Prancis berencana melakukannya pada 2040.
Tak hanya itu, Jerman, Irlandia, dan Belanda akan melarang penjualan mobil bensin dan diesel pada 2030. Sementara, Norwegia akan menjadi negara tercepat dan pertama yang berencana melakukannya pada 2025.