Jakarta, FORTUNE – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan teknologi menjadi tumpuan dalam mengatasi tantangan dekarbonisasi. Untuk itu, pemerintah terus menjajaki kerja sama dengan Australia, terutama dalam rencana pengembangan teknologi energi bersih.
“Kita harus menempatkan teknologi sebagai prioritas untuk mengatasi tantangan dekarbonisasi, seperti Photovoltaic (PV) surya, produksi baterai, dan hidrogen. Untuk itu, akses ke teknologi dan pembiayaan yang terjangkau harus dijajaki secara masif,” ujar Menteri ESDM, Arifin Tasrif, saat bertemu Menteri Energi Australia Chris Bowen MP, seperti dikutip di laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (13/7).
Menurut Arifin, Indonesia memiliki banyak sekali potensi sumber energi baru terbarukan (EBT). Namun, dalam pemanfaatannya, Indonesia memerlukan dukungan pengembangan teknologi demi efektivitas dan efisiensi yang optimal.
Apalagi, target Net Zero Emission (NZE) harus bisa tercapai pada 2060. "Indonesia berharap Australia dapat mendukung hal ini dengan mendukung konsensus yang akan disusun bersama (dalam forum G20)," katanya.
Dekarbonisasi melalui upaya transisi energi
Indonesia tengah berfokus pada upaya dekarbonisasi dan transisi energi–seperti salah satu isu utama dalam Presidensi G20. Beberapa hal yang sedang digarap pemerintah, antara lain mengganti pembangkit listrik tenaga diesel dengan pembangkit listrik tenaga gas dan energi terbarukan, melaksanakan pilot project teknologi carbon capture, konversi kendaraan BBM menjadi kendaraan listrik, pemanfaatan peralatan rumah tangga listrik, dan upaya memensiunkan pembangkit batubara.
"Di sisi lain, teknologi solar PV juga penting untuk dikembangkan guna meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi kita. Industri pendukung diperlukan untuk pengembangan ini dalam rangka meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri,” ucap Arifin.
Selain itu, sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia, seperti nikel, tembaga, bauksit, mangan, timah, dan lainnya, juga tengah diarahkan untuk mendukung peta jalan transisi energi.
Peningkatan nilai tambah sumber daya mineral tersebut sudah jadi prioritas pemerintah yang terus ditingkatkan. “Misalnya nikel dan kobalt sebagai bahan baku pembuatan baterai untuk kendaraan listrik dan sebagai penyimpan pembangkit listrik energi terbarukan,” tuturnya.
Kerja sama apik di kawasan Indo-Pasifik
Arifin mengatakan, rantai pasokan energi yang aman dan tangguh amat dibutuhkan dalam upaya percepatan transisi energi di kawasan Indo-Pasifik. Oleh karena itu, peran semua negara di kawasan ini–seperti Indonesia dan Australia–sangat diperlukan.
Setiap negara Indo-Pasifik, kata Arifin, harus dapat bekerja sama untuk memperkuat pasokan energi di negaranya maupun negara sekitarnya. “Kita harus membuat rantai pasokan energi lebih beragam dan kompetitif,” katanya.
Kemitraan energi di kawasan Indo-Pasifik pun harus terus didorong. Kondisi geografis yang terhubung melalui laut seharusnya dapat diatasi dan tak jadi masalah. “Misalnya transmisi interkoneksi melalui pemasangan kabel bawah laut atau pengembangan industri hidrogen hijau sebagai bentuk kerja sama yang berkelanjutan dan konkrit,” ujar Arifin.
Tantangan transisi energi
Transisi energi di Indonesia memang masih menghadapi banyak sekali tantangan. Pandemi Covid-19 bahkan menyebabkan penurunan konsumsi energi yang signifikan karena larangan bepergian pada awal tahun 2020.
Selain itu, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina juga memicu kenaikan harga minyak dunia, dan diikuti oleh kenaikan harga bahan-bahan pokok.
Namun, dekarbonisasi tak bisa dielakkan dan harus terus berjalan. Salah satu dukungan yang diharapkan adalah peran penting pemerintah dan para pengusaha Australia untuk berperan dalam pengembangan teknologi dan industri yang terkait upaya pemanfaatan EBT ini.