Empat Kesalahpahaman Terkait Ekowisata yang Sering Terjadi

Banyak hal terkait ekowisata yang sering disalahartikan.

Empat Kesalahpahaman Terkait Ekowisata yang Sering Terjadi
Alam di Afrika. (Shutterstock/ModernNomad)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sebuah jembatan pejalan kaki terpanjang di dunia sedang dibangun di area Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). Jenama peralatan petualangan asli Indonesia, Eiger, mendirikan jembatan ini sebagai bagian dari kawasan ekowisata Eiger Adventure Land (EAL) yang baru mulai resmi dibangun pada 17 Oktober.

Ekowisata memang sedang banyak diperbincangkan dan menjadi tujuan wisata masyarakat. Apalagi, setelah pandemi, tempat-tempat terbuka yang menyatu dengan alam menjadi pilihan utama melepas penat dan beristirahat barang sejenak.

Melansir Antara, Diyah Deviyanti, Project Coordinator Hutan Itu Indonesia, bercerita tentang pengalamannya merasakan tujuan ekowisata Tangkahan, di Taman Nasional Gunung Leuser. “Begitulah gambaran destinasi ekowisata yang sesungguhnya. Pengelola tidak mengubah fungsi hutan sebagai sumber oksigen dan sumber kehidupan masyarakat sekitar,” ujarnya. 

Ia mengatakan hingga saat ini, masih banyak orang yang salah kaprah dalam memahami ekowisata. Berikut ini empat kesalahpahaman terkait ekowisata yang masih sering terjadi.

Wisata alam pasti ekowisata

Walau sama-sama berupa alam terbuka, namun ekowisata dan wisata alam biasa sangat berbeda. Perbedaan mendasarnya, menurut Diyah, terletak pada keberadaan fasilitas pendukung. Pada tempat wisata alam yang umum, seringkali fasilitas pendukung seperti toilet, gazebo, dan pendukung lainnya dibangun tanpa memperhatikan ekosistem.

“Sekalipun hutan atau taman nasional, jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata,” kata Diyah.

Menurutnya, sebuah tempat layak dikatakan sebagai destinasi ekowisata jika bertujuan untuk melindungi kealamian lingkungannya, termasuk menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. “Kita bisa membantu kesejahteraan mereka dengan membeli produk buatan mereka, misalnya madu hutan, atau menggunakan jasa penduduk lokal sebagai pemandu,” ujarnya.

Anggapan bahwa ekowisata itu murah

Karena berkaitan dengan alam, maka banyak anggapan bahwa ekowisata hanya akan menghabiskan biaya sedikit. Namun, menurut Diyah, hal ini tidak tepat karena seharusnya tujuan ekowisata tidak dibuka bagi banyak pengunjung. Hal ini akan membuat biayanya justru menjadi lebih mahal daripada destinasi yang dibuka secara besar-besaran.

“Pembatasan pengunjung penting dilakukan agar alam tidak rusak. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Dana ini bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek. Sebagian besar untuk pemeliharaan tempat, sebagian juga untuk kas pemberdayaan masyarakat,” kata Diyah.

Menurutnya, tempat alami justru akan menghabiskan banyak biaya, terutama untuk berbagai profesi pendukung untuk memastikan kealamian dari ekowisata tersebut. Misalnya, perlu penjaga hutan untuk menjaga agar tidak ada orang yang menebang secara ilegal, atau pembersih jalan untuk membereskan pohon tumbang, dan sejumlah pekerjaan lain yang membantu pelestarian hutan.

Kegiatan ekowisata tak beda dari tempat wisata umum biasa

Diyah menampik hal tersebut. Menurutnya, konsep ekowisata justru lebih banyak menghadirkan berbagai kegiatan menyenangkan. Contohnya, berwisata ke Tangkahan, Diyah menemukan hutan yang sangat alami, dengan jalan setapak kecil, tanpa dilapisi bebatuan. Kemudian, ia juga melewati sungai, bahkan bertemu beberapa hewan liar, seperti babi dan monyet.

Diyah menambahkan, untuk menginap, pengunjung bisa menempati bangunan yang sudah disediakan warga, atau tinggal di rumah warga. Jika lebih nyaman berkemah, di hutan juga terdapat beberapa area yang dapat dijadikan tempat mendirikan tenda tanpa harus membuka lahan. “Di area sungai ada area bebatuan yang bisa dijadikan lokasi camping. Atau, ada sejumlah area lapang di bawah pepohonan,” tuturnya.

Eco-friendly traveling sama dengan ecotourism

Diyah menjelaskan bahwa kedua hal ini sebenarnya tidak sama. Menurutnya, eco-friendly traveling lebih pada rasa peduli atau tanggung jawab sebagai pelancong kepada lingkungan. Sedangkan, ecotourism atau ekowisata lebih ke kegiatan wisata alamnya.

Namun, Diyah ada benang merah yang menghubungkan keduanya, yakni kepedulian terhadap lingkungan alam. 

“Memang di destinasi ekowisata banyak sekali hal-hal yang sangat bagus. Saking bagusnya, tak sedikit yang tergoda untuk mengukir nama. Percuma datang ke destinasi ekowisata, kalau ujung-ujungnya merusak juga. Harusnya kedatangan kita membuat tempat itu tetap bagus dan lestari,” ujarnya.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Mengenal Proses Screening Interview dan Tahapannya
Cara Mengaktifkan eSIM di iPhone dan Cara Menggunakannya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
Perusahaan AS Akan Bangun PLTN Pertama Indonesia Senilai Rp17 Triliun
SMF Akui Kenaikan BI Rate Belum Berdampak ke Bunga KPR Bersubsidi
Digempur Sentimen Negatif, Laba Barito Pacific Tergerus 61,9 Persen