Jakarta, FORTUNE - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pengobatan pasien gangguan ginjal akut misterius yang sedang merebak, akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Adapun, biaya pertanggungan ini akan disesuaikan dengan jenis kepesertaan yang dimiliki pasien. “Sesuai kepesertaan BPJS ya, menurut mekanisme yang ada. Kalau sudah menjadi peserta BPJS pasti ditanggung,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Jumat (21/10).
Oleh sebab itu, ia berharap kepada masyarakat yang belum mendaftar atau melunasi tagihan BPJS. Hal ini penting, mengingat jumlah kasus gangguan ginjal akut misterius sudah mencapai 206 di seluruh Indonesia, dengan tingkat kematian mendekati 50 persen.
Belum jadi KLB
Sementara, Kemenkes menekankan bahwa pembiayaan pengobatan ginjal akut memang belum akan menerapkan skema pembayaran gratis, karena belum bisa ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya, menyampaikan bahwa BPJS masih akan memfokuskan pelayanan gratis melalui BPJS. "Semua pembiayaan ditanggung BPJS ya, karena bukan bencana,” katanya.
RSCM menjamin skema BPJS
Jaminan pengobatan BPJS juga disampaikan oleh Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Lies Dina Liastuti. Ia mengatakan, pasien ginjal akut tidak akan dikenakan biaya, meski obat penawarnya didatangkan dari Singapura dengan harga yang cukup tinggi.
“Demikian pula dengan pemeriksaan lab-lab yang kita kirim, pasien tidak dibebani,” katanya.
RSCM sudah ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan untuk pasien gangguan ginjal akut atau gangguan ginjal progresif atipikal. Sebagai informasi, dari 206 kasus yang ada, 99 meninggal dunia, dan mayoritasnya dirawat di RSCM.
Bahaya yang mengancam
Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan kematian akibat kasus ginjal akut bisa meningkat lima kali lipat dari yang terdeteksi.Saat ini, katanya, kematian balita akibat gagal ginjal akut mencapai 40 anak per bulan.
Untuk menekan lonjakan kasus, maka Kemenkes menghentikan peredaran obat jenis sirup, mengingat adanya indikasi kasus disebabkan oleh penggunaan obat sirup. Kemenkes akan menggelar pertemuan dengan gabungan pengusaha farmasi, apoteker dan dokter anak Indonesia untuk merincikan pelarangan obat sirup yang beredar saat ini.
"Kenapa kita tahan dulu (obat jenis sirup) karena kita mau konservatif menyelamatkan anak-anak,” ujarnya.