Jakarta, FORTUNE – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong pengembangan industri Green Pharmacy atau Farmasi Hijau untuk memperkuat arsitektur kesehatan nasional maupun global.
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan pemerintah sudah menyediakan Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan pada semester pertama 2022 di situs permintaan. “Kami menyelaraskan upaya untuk mendukung UKM untuk mengembangkan bisnis dan pasar mereka,” ujarnya dikutip dari kanal YouTube T20 Indonesia, Rabu (7/9).
Menurut Rizka, saat ini pemerintah terus mengembangkan penelitian sampai pemanenan bahan baku, demi standar kualitas produksi farmasi hijau yang mumpuni. Selain itu, pemerintah juga sudah menyediakan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah untuk menggunakan produk lokal dalam pemenuhan farmasi hijau.
Tantangan yang dihadapi
Rizka menyebut, ada berbagai tantangan memang dihadapi Indonesia dalam penyediaan produk farmasi hijau, misalnya yang berupa obat-obatan herbal atau jamu. Menurutnya, dukungan keuangan sangat kurang, khususnya dalam penelitian tentang tes cepat molekuler dan pengobatan herbal.
Kemauan politik dan kapasitas untuk memantau keamanan produk, kata Rizka, juga kurang memadai. Terlebih dalam pengembangan sistem informasi, analisis, dan integrasinya ke dalam sistem kesehatan.
Hal ini menjadi ironis, karena Indonesia memiliki sekitar 143 hektare hutan tropis dengan 28.000 spesies tumbuhan, namun baru 32 ribu yang sudah dimanfaatkan. Dengan demikian, “Indonesia tetap menjadi pemain utama baru untuk farmasi hijau dengan produk jamu.”
Banyak negara mulai gunakan farmasi hijau
Potensi pengembangan industri farmasi hijau di Indonesia pun cukup besar. Banyak negara di dunia, mengakui peran jamu dalam sistem kesehatan nasional mereka. “Di Cina, penggunaan obat herbal sudah mapan untuk tujuan kesehatan,” katanya.
Selain itu, 50-70 persen jamu sudah jadi resep resmi pengobatan di Jepang. “Obat herbal sangat populer. Penggunaan jamu oleh penduduk di Perancis mencapai 49 persen, Kanada 70 persen, Inggris 40 persen, dan Amerika Serikat 42 persen. Inilah kondisi pasar ekspor jamu ke depan,” ujar Rizka.
Manfaat positif bagi manusia dan lingkungan
Dalam acara yang sama, Direktur Riset dan Pengembangan Bisnis Dexa Group, Raymond Tjandrawinata, mengatakan Farmasi Hijau sangat berpotensi menjadi industri yang menguntungkan dan bermanfaat positif bagi manusia dan lingkungan.
“Jika berbicara tentang Famasi Hijau, dalam jumlah besar, siapa yang akan mendapatkan keuntungan? Tidak hanya produsen, perusahaan, pasien, dan dokter, tetapi juga para petani yang memiliki kemampuan menanam (bahan baku) sesuai dengan praktik agrikultur yang baik,” katanya.
Penggunaan obat-obatan berbasik tanaman juga lebih aman terhadap lingkungan di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa kini di Asia Tenggara, Indonesia termasuk dalam tiga peringkat terbawah dalam pengelolaan limbah besar obat-obatan.
“Untuk itu, perlu banyak memberikan perhatian dan edukasi kepada masyarakat yang tujuannya adalah kelestarian lingkungan,” ucapnya.