Jakarta, FORTUNE - Indeks harga pangan dunia yang disiapkan oleh Badan Pangan Dunia atau FAO naik 3,9 persen dari September. Ini bulan ketiga secara berturut-turut indeks tersebut mengalami kenaikan. Demikian informasi yang dilansir laman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (4/11).
Secara tahunan, indeks tersebut melonjak lebih dari 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan membuatnya bertengger lebih tinggi dari kedudukan pada Juli 2011.
Harga sereal secara keseluruhan naik 3,2 persen—menyusul lima persen kenaikan harga gandum—karena berkurangnya panen di negara-negara pengekspor utama seperti Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat.
Indeks harga minyak sayur naik 9,6 persen dan menjadikan kenaikan tersebut tertinggi dalam sejarahnya. Selain itu, indeks harga susu naik 2,6 poin karena meningkatnya permintaan akan mentega, bubuk susu skim dan bubuk susu murni secara mondial.
Turunnya pembelian daging babi dari Cina dan daging sapi dari Brasil menurunkan indeks harga daging selama tiga bulan secara berturut-turut. Namun, harga daging unggas dan kambing naik.
Selain itu, cuaca buruk di berbagai tempat memberikan tekanan pada pasokan makanan dan harga. Walhasil, akibat turunannya adalah rantai produksi yang memanjang, kelangkaan pekerja, dan ongkos melambung.
Makanan dan iklim
Produksi, distribusi, dan konsumsi pangan memanfaatkan sepertiga energi dunia, demikian laporan PBB dari sela-sela konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, pekan lalu.
Upaya pemenuhan kebutuhan pangan global pun meningkatkan sepertiga emisi gas rumah kaca. Karena itu, butuh solusi untuk menyiasati perkara dimaksud.
Salah satu contohnya adalah penggunaan irigasi berbasis tenaga surya. Di India, pemakaian pompa irigasi bertenaga surya meningkatkan pemasukan petani hingga 50 persen ketimbang hanya memanfaatkan sistem tadah hujan. Di Rwanda, tingkat panen petani kecil naik kira-kira sepertiga dari sebelumnya.