IESR: Investasi SPKLU Lebih Efektif Dorong Adopsi EV Ketimbang Subsidi

Persebaran SPKLU belum merata.

IESR: Investasi SPKLU Lebih Efektif Dorong Adopsi EV Ketimbang Subsidi
Salah satu SPKLU yang dibangun oleh PLN. (dok. PLN)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Institute for Essential Service Reform (IESR) menyebut keterbatasan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) turut menyebabkan rendahnya adposi kendaraan listrik (EV) di Tanah Air.

Karena itu, peneliti Power Systems and Distributed Energy Resources IESR, Faris Adnan, mengatakan pemerintah sebaiknya memfokuskan belanja anggaran untuk mendorong pembangunan SPKLU ketimbang memberikan subsidi langsung kepada konsumen kendaraan listrik.

"Kalau investasi SPKLU diinisiasi pemerintah, maka itu dapat 4-7 kali efektif secara biaya dibandingkan memberikan insentif kepada konsumen secara langsung dalam adopsi kendaraan listrik," ujarnya dalam peluncuran laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023 (IEVO 2023), Selasa (21/2).

Berdasarkan catatan IESR, pertumbuhan jumlah SPKLU dari tahun ke tahun sendiri telah mencapai tiga kali lipat sejak 2020. Bahkan pada 2022, sekitar 570 atau 88 persen dari 693 target SPKLU telah terealisasi. Sayangnya, distribusi SPKLU masih belum cukup merata dan masih terpusat di Jawa dan Bali.

"Kalau kita lihat lebih detail, di Jakarta, SPKLU itu sekitar 50 persennya itu menggunakan slow charging. Penempatan SPKLU ini juga perlu diperhatikan pemerintah karena kalau SPKLU-nya ada di jalan tol, itu kita perlu menerapkan fast charging, tapi kalau adanya misalnya di kantor, yang kita bisa meninggalkan kendaraan itu, mungkin slow charging atau medium charging cukup. Ini untuk mengoptimalkan biaya investasi yang akan dikeluarkan," jelasnya.

PLN sendiri, menurut Faris, telah mengeluarkan beberapa skema bisnis yang menjanjikan bagi investor SPKLU. Namun, dalam beberapa kasus, pendapatan kotor yang ditawarkan PLN tidak bisa mengkonversi seluruh biaya operasional SPKLU.

Hambatan lain adopsi EV

Selain infrastruktur, IESR juga mengidentifikasi masalah lain yang menghambat adopsi kendaran listrik, yakni biaya pembelian yang mahal dan keterbatasan jarak tempuh kendaraan.

Untuk hambatan pada biaya pembelian, salah satunya terlihat dari penjualan 7.600 mobil listrik pada 2022 yang didominasi oleh produk pada kisaran harga Rp200–300 jutaan.  Kemudian, pada kendaraan listrik roda dua, adopsinya sudah lebih tinggi dari roda empat lantaran harga pembeliannya sudah cukup bersaing dengan kendaraan roda dua berbahan bakar BBM.

"Roda empat sendiri, tahun lalu, ada mobil listrik yang dijual di harga Rp200-300 jutaan di mana yang lain masih Rp600-jutaan, dengan harga segitu masyarakat mampu mengadopsi dengan harga itu," tuturnya.

Adapun terkait keterbatasan jarak, masalah ini disebabkan rata-rata jarak tempuh kendaraan listrik roda dua yang hanya sekitar 60 km. 

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Astra International (ASII) Bagi Dividen Rp17 Triliun, Ini Jadwalnya
Microsoft Umumkan Investasi Rp27 Triliun di Indonesia
Laba PTRO Q1-2024 Amblas 94,4% Jadi US$163 Ribu, Ini Penyebabnya
Waspada IHSG Balik Arah ke Zona Merah Pascalibur
Laba Q1-2024 PTBA Menyusut 31,9 Persen Menjadi Rp790,9 Miliar
Laba Q1-2024 Antam Tergerus 85,66 Persen Menjadi Rp238,37 Miliar