Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Ekonomi hingga Perdagangan Dunia

Harga komoditas naik tajam hingga ketidakpastian pasar.

Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Ekonomi hingga Perdagangan Dunia
Ilustrasi Konflik rusia-ukraina. Shutterstock/Tomasz Makowski
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Dampak perang Rusia dan Ukraina untuk ekonomi global cukup signifikan, setelah berjalan tepat sebulan pada hari ini (24/3). Invasi itu telah mengubah lanskap geopolitik dunia, yang akhirnya berpengaruh terhadap ekonomi antarnegara.

Hengkangnya banyak perusahaan dari Rusia menjadi salah satu efek yang jelas terlihat. Selain itu, Moskow juga dijatuhi rentetan sanksi dari negara-negara Barat membuat ekonomi dunia pun terkena imbasnya. Pertumbuhan ekonomi berisiko melambat, dengan inflasi yang naik lebih cepat.

The S&P Global Market Intelligence memangkas prediksi pertumbuhan PDB riil global pada 2022 dari 4,1 persen menjadi 3,3 persen pada Februari. International Monetary Fund (IMF) juga memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 5,6 persen menjadi 5,4 persen.

Lebih lanjut, IMF menyebutkan tiga dampak utama dari perang Rusia dan Ukraina terhadap perekonomian. Yang akhirnya bisa melahirkan efek domino dalam roda ekonomi global.

Berikut rangkuman dampak perang Rusia-Ukraina terhadap dunia.

Harga komoditas terdongkrak

Contoh komoditas Indonesia. (Pixabay/tristantan)

Perang Rusia dan Ukraina  mempengaruhi kenaikan harga komoditas. Harga minyak brent misalnya, yang harganya menguat 24,42 persen dalam sebulan terakhir, melansir data Investing.com. Begitu pula dengan minyak mentah WTI yang harganya melesat 25,13 persen dalam periode yang sama.

Pada 7 Maret 2022, harga minyak dunia bahkan sempat melambung ke level US$139,13; hampir menyentuh titik tertinggi selama 14 tahun terakhir.

“Fenomena itu akan mendorong inflasi lebih lanjut, yang pada gilirannya akan mengikis nilai pendapatan dan membebani permintaan,” jelas IMF dalam laman resminya.

Mengutip IHS Markit, negara-negara di Eropa Barat telah melihat perlambatan pertumbuhan akibat lonjakan harga gas alam, minyak, dan listrik. Hampir tiap wilayah di sana merugi akibat gangguan pasokan ihwal perang dan lambungan harga komoditas.

Terkecuali Timur Tengah dan Afrika Utara, eksportir minyak dan gas global, yang memperoleh keuntungan dari melonjaknya harga energi.

Perdagangan antarnegara terganggu

Shutterstock/Andrii Yalanskyi

Selain harga komoditas yang melonjak, perdagangan antarnegara juga terganggu oleh konflik Rusia-Ukraina. Hal ini akhirnya menyebabkan gangguan rantai pasokan, pengiriman uang, serta arus pengungsi yang melambung tinggi bagi negara tetangga.

Meski Rusia dan Ukraina hanya menyumbang 1,8 persen dan 0,1 persen terhadap PDB dunia pada 2021, keduanya berperan besar dalam produksi minyak, gas alam, gandum, jagung, minyak bunga matahari, pupuk, kayu, gas neon, alumunium, nikel, titanium, paladium, besi, dan baha.

Sampai pertengahan Maret, Indeks Harga Bahan Markit IHS melonjak 33 persen, menyentuh level tertinggi baru. Harga akan mencapai puncaknya pada kuartal kedua 2022.

Namun, akan tergerus sekitar 20 persen pada dua kuartal akhir tahun ini akibat kenaikan suku bunga, melemahnya pertumbuhan permintaan, dan perlambatan di pasar properti Cina daratan.

Melambungnya harga energi akan berdampak pula pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Perkiraan tersebut diasumsikan melahirkan kerugian produksi dan ekspor minyak Rusia sekitar 1 hingga 3 juta barel per hari sampai 2023.

Analis S&P Global Market Intelligence mengatakan, “Ketika harga komoditas bergerak ke hilir, inflasi harga konsumen global diproyeksikan naik dari 3,9 persen pada 2021 menjadi 6,4 persen pada 2022, tingkat tertinggi sejak 1995.”

Kepercayaan bisnis berkurang, ketidakpastian investor naik

Ilustrasi Analis, investor, trader menggunakan analitik aplikasi ponsel untuk menganalisis pasar saham. Shutterstock/insta_photos

Turunnya kepercayaan bisnis dan meningkatnya ketidakpastian di kalangan investor akan membebani harga aset, melahirkan pengetatan kondisi keuangan.

Dengan demikian, kondisi ini berpotensi memacu arus modal asing keluar dari pasar negara berkembang, menurut IMF. Para pemodal akan mencari tempat yang relatif aman, yang akhirnya negara yang diuntungkan adalah AS.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Cara Daftar BRImo Secara Online Tanpa ke Bank, Ini Panduannya
Jumlah Negara di Dunia Berdasarkan Keanggotaan PBB
Erick Thohir Buka Kemungkinan Bawa Kasus Indofarma ke Jalur Hukum
Saat Harga Turun, Edwin Soeryadjaya Borong Saham SRTG Lagi
Lampaui Ekspektasi, Pendapatan Coinbase Naik Hingga US$1,6 Miliar
Mengenal Apa Itu UMA pada Saham dan Cara Menghadapinya