Jakarta, FORTUNE - Beban tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap berbagai produk asal Indonesia ternyata jauh lebih rumit dan berlapis dari sekadar angka tunggal 32 persen yang kerap disebut sebagai tarif resiprokal. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggarisbawahi adanya tiga skema pungutan yang mengintai ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.
Hal ini dijelaskan langsung oleh Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono. Ia memerinci, tiga lapis tarif tersebut terdiri dari tarif dasar yang diperbarui, tarif resiprokal, dan tarif sektoral khusus.
"Besaran tarif dasar baru itu berbeda-beda tergantung jenis barang. Misalnya, ada yang sebelumnya tarifnya 0 persen, 5 persen, atau 10 persen, kini semuanya dinaikkan menjadi tambahan 10 persen," kata Djatmiko dalam acara konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (21/4).
Dalam penjelasannya, dia mengatakan skema pungutan pertama yang diberlakukan AS adalah kenaikan tarif dasar 10 persen poin dari tarif yang berlaku sebelumnya.
Peningkatan tersebut diterapkan secara umum untuk beragam jenis produk dari seluruh negara, dengan pengecualian untuk Meksiko dan Kanada yang terikat perjanjian dagang khusus dengan AS di bawah payung United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA).
Sebagai gambaran, untuk produk tekstil dan pakaian seperti kaus, batik, atau bahan kain yang sebelumnya dikenai tarif 5 persen hingga 20 persen, kini rentangnya bertambah 10 persen menjadi 15 persen hingga 30 persen.
Di sisi lain, ada skema kedua berupa tarif resiprokal 32 persen. Pungutan ini dikenakan sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan dagang spesifik dari negara mitra. Meski angka ini cukup tinggi, pemberlakuannya masih ditunda selama 90 hari ke depan, terhitung mulai 10 April 2025.
“Walaupun ditunda, kita perlu waspada. Bila tarif ini diterapkan nanti, maka misalnya untuk produk tekstil dan pakaian yang tarifnya awalnya 5 persen-20 persen, akan melonjak menjadi 37 persen-52 persen. Produk karet yang tadinya 2,5 persen-5 persen pun bisa naik menjadi 34,5 persen-37 persen,” ujarnya.
Sementara itu, skema pungutan impor ketiga adalah tarif sektoral. Tarif ini bersifat spesifik dan menyasar beberapa sektor industri strategis, yaitu baja, aluminium, otomotif, serta komponen otomotif.
Untuk komoditas-komoditas ini, besaran tarifnya ditetapkan 25 persen hingga 30 persen. Tarif sektoral ini berlaku menggantikan tarif dasar baru maupun tarif resiprokal untuk sektor-sektor yang disebutkan.
"Kalau Indonesia mengekspor baja, aluminium, atau otomotif ke AS, maka akan langsung dikenai tarif sektoral 25 persen. Dalam hal ini, tarif dasar baru dan tarif resiprokal tidak berlaku lagi, karena tarif sektoral sudah bersifat khusus," kata Djatmiko.