Terkait Perang Tarif, Indonesia Kejar Negosiasi Cepat dengan AS

- Produk tekstil dan garmen Indonesia terancam tarif impor AS hingga 47 persen.
- Amerika Serikat menyoroti hambatan perdagangan seperti barang bajakan, TKDN, perizinan impor, dan regulasi sertifikasi halal.
- Pemerintah Indonesia dan USTR sepakat mempercepat negosiasi tarif dalam 60 hari ke depan.
Jakarta, FORTUNE - Ekspor produk tekstil dan garmen Indonesia ke Amerika Serikat (AS) kini menghadapi tantangan tarif impor yang lebih tinggi, dengan potensi mencapai 47 persen. Angka ini melonjak signifikan dari kisaran sebelumnya antara 10 hingga 37 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan lonjakan ini dipicu oleh tambahan bea masuk sebesar 10 persen yang diberlakukan pemerintah AS.
Menanggapi situasi mendesak ini, pemerintah Indonesia dan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) telah sepakat mempercepat negosiasi tarif. Targetnya adalah kesepakatan dapat diselesaikan dalam 60 hari ke depan. Tim teknis USTR pada Jumat (18/4) telah mengundang delegasi teknis Indonesia untuk mulai mendalami isu-isu utama yang menjadi perhatian kedua belah pihak.
Negosiasi ini mencakup pembahasan skema kerja sama, mekanisme, dan penjadwalan pembicaraan lebih lanjut. Permintaan Airlangga kepada Duta Besar Katherine Tai adalah agar semua isu utama dapat disepakati dalam 60 hari pertama, menyisakan 30 hari dari total 90 hari masa penundaan tarif sebagai waktu implementasi kesepakatan.
Topik yang dibahas meliputi berbagai hambatan non-tarif seperti perizinan impor, perdagangan digital, bea masuk atas transmisi elektronik (CDET), inspeksi pra-pengapalan, kewajiban surveyor, serta kebijakan local content. Selain itu, negosiasi juga akan menyentuh tarif sektoral dan dasar, hingga akses pasar secara menyeluruh.
Sebagai konteks, AS menyoroti sejumlah hambatan dagang dan investasi yang masih dihadapi pelaku usaha negaranya di Indonesia. Hal ini terungkap melalui laporan tahunan, 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis USTR.
Indonesia tetap berada dalam daftar pantauan prioritas seperti dalam laporan tahun lalu. Berikut beberapa hal yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai penghambat perdagangan:
Marak barang bajakan di Mangga Dua
USTR melaporkan pelaku usaha AS tetap menyimpan kekhawatiran akan perlindungan dan penegakan hukum kekayaan intelektual (HKI) meski Indonesia telah mengambil langkah-langkah terkait hal-hal tersebut. Mereka menjadikan pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang meluas, baik di pasar daring maupun fisik, sebagai kecemasan utama.
USTR menilai penegakan hukum atas HKI masih lemah, dan karenanya mendorong Indonesia lebih aktif memanfaatkan gugus tugas HKI dan memperkuat perlindungan terhadap data farmasi dan produk pertanian yang sensitif terhadap pemalsuan.
Perubahan dalam UU Paten 2016 melalui UU Cipta Kerja juga mendapat sorotan. AS menilai pelonggaran syarat paten dapat dilakukan hanya melalui impor atau lisensi, bukan aktivitas lokal, sehingga mereka mendesak revisi lebih komprehensif.
QRIS, GPN, dan Akses Terbatas bagi Perusahaan Asing
AS juga menyoroti kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Mereka menyayangkan minimnya pelibatan pelaku usaha asing dalam penyusunan kebijakan QRIS yang berdampak sistemik.
Selain itu, peraturan mengenai GPN membatasi kepemilikan asing hingga 20 persen dan mewajibkan kerja sama dengan mitra lokal untuk memproses transaksi domestik, termasuk dukungan pada transfer teknologi.
TKDN dan perizinan impor yang kompleks
USTR juga mempermasalahkan syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai membatasi akses produk teknologi AS ke pasar Indonesia. Produk 4G LTE wajib memiliki kandungan lokal minimal 35 persen, dan perangkat TV siaran harus memenuhi ambang 20 persen.
Selain itu, prosedur perizinan impor dinilai rumit dan sering berubah. Sistem OSS disebut belum terintegrasi dengan baik, menambah beban administrasi bagi pelaku usaha asing. Pemerintah Indonesia juga dinilai memberlakukan kuota ketat atas impor produk pertanian seperti gula, yang membuat akses pasar menjadi lebih terbatas.
Regulasi sertifikasi Halal menjadi perhatian
Sektor farmasi juga menjadi sorotan. USTR menilai proses pengadaan farmasi Indonesia kurang transparan, termasuk dalam penetapan produk yang masuk katalog pengadaan online. Aturan Kemenkes No. 1010/2008 dan Perpres No. 10/2021 dinilai membatasi peran perusahaan asing, terutama untuk produk tradisional yang wajib dimiliki oleh entitas dalam negeri.
Lebih lanjut, Keputusan Presiden No. 6/2023 mewajibkan sertifikasi halal untuk seluruh obat-obatan, produk biologi, dan alat kesehatan mulai 2039. AS menyebut sistem ini tidak disusun melalui proses yang inklusif dan tidak selaras dengan standar halal global yang dinegosiasikan secara internasional.