Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) memberikan tanggapannya mengenai rencana pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel B50 pada 2026.
Sekretaris Jenderal APROBI, Ernest Gunawan, menilai langkah tersebut akan sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat. Pasalnya, produksi minyak kelapa sawit (CPO) nasional saat ini cenderung stagnan, bahkan ada indikasi penurunan, sementara kebutuhan bahan baku untuk B50 sangatlah besar.
“Kalau B50, kita butuh sekitar 18 juta ton CPO. Itu berat. Sekarang saja untuk B40 kita sudah mengonsumsi 13 juta ton. Kalau naik ke B50, kebutuhannya bisa sampai 19,5 hingga 20 juta ton,” kata Ernest saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (8/4).
Ia mengatakan dengan kondisi produktivitas perkebunan sawit yang belum mengalami peningkatan signifikan, implementasi B50 bisa menimbulkan berbagai risiko. Salah satunya adalah potensi terjadinya persaingan antara kebutuhan biodiesel dengan kebutuhan minyak goreng di dalam negeri.
Ernest mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak asosiasi produsen sawit, seperti Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, agar produktivitas di tingkat hulu ditingkatkan.
"Kami hanya pengguna, bukan penghasil bahan baku. Semuanya tergantung pada anggota Pak Gulat. Kalau produktivitas bisa naik, kita akan survive. Tapi kalau tidak, ya kita akan bersaing dengan minyak goreng nanti," ujarnya.
Saat ini, berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi CPO nasional pada 2024 diperkirakan mencapai 53,6 juta ton. Dari jumlah tersebut, konsumsi di dalam negeri diperkirakan mencapai 26,1 juta ton, termasuk untuk program B40 yang menyerap sekitar 13,6 juta ton. Sisanya masih dialokasikan untuk kegiatan ekspor.
Namun, pada 2025, pemerintah telah menaikkan kuota biodiesel menjadi 15,6 juta kiloliter (KL), meningkat dari kuota sebelumnya yang sebesar 12,9 juta KL.
Ernest menyatakan kuota untuk 2025 memang telah ditetapkan, dengan alokasi 7,55 juta KL untuk kebutuhan sektor Public Service Obligation (PSO), sementara sisanya untuk sektor Non-PSO.