Kebutuhan CPO untuk Biodiesel Meningkat Seiring Program B40 pada 2025

- Kebutuhan CPO untuk biodiesel meningkat seiring penerapan B40 pada 2025.
- Pada 2024, kuota biodiesel ditetapkan sebesar 13,4 juta kl, memerlukan sekitar 12,18 juta ton CPO.
- Program biodiesel diperkirakan mampu menghemat devisa US$9,33 miliar atau Rp149,28 triliun pada 2024.
Jakarta, FORTUNE – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan peningkatan kebutuhan minyak kelapa sawit (CPO) untuk biodiesel sejalan dengan penerapan B40 pada 2025.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan pada 2024 kuota biodiesel ditetapkan sebesar 13,4 juta kiloliter (kl). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan sekitar 12,18 juta ton CPO, yang setara dengan 24 persen dari total produksi CPO nasional yang diperkirakan mencapai 50 juta ton.
"Pada 2025, dengan penerapan B40 yang dialokasikan sekitar 15,62 juta kl, kebutuhan CPO diperkirakan meningkat menjadi 14,2 juta ton atau sekitar 28 persen dari total produksi," kata Edi dalam diskusi bertajuk Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit bagi Pangan dan Energi Indonesia yang digelar oleh Majalah Sawit Indonesia, Sabtu (22/2).
Menurut Edi, minyak sawit merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam ketahanan pangan dan energi nasional. Upaya hilirisasi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto perlu didukung dengan penguatan sektor hulu, terutama di tengah stagnasi produktivitas sawit nasional.
Lebih lanjut, Edi menjelaskan implementasi biodiesel sejauh ini berjalan cukup baik, baik dari sisi pasokan maupun distribusi. Ia menyatakan kendala teknis, seperti penyumbatan filter bahan bakar, yang sempat menjadi isu pada awal penerapan, kini sudah jarang terjadi.
"Kalau dulu ada isu terkait filter bahan bakar yang cepat tersumbat, sekarang hal itu hampir tidak lagi terdengar," ujarnya.
Selain itu, penerapan biodiesel memberikan manfaat besar bagi negara. Sepanjang 2024, program ini diperkirakan mampu menghemat devisa US$9,33 miliar atau sekitar Rp149,28 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS).
Dengan penerapan B40, penghematan devisa diproyeksikan mencapai Rp147,5 triliun, dengan pengurangan emisi karbon sebesar 41,46 juta ton CO2 ekuivalen serta peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,98 triliun.
Ke depan, pemerintah masih mengkaji kemungkinan penerapan B50.
"Kami masih mengkaji bagaimana ketersediaan CPO untuk B50. Sebab, penerapan B40 saja sudah menyerap sekitar 28 persen dari produksi CPO nasional," kata Edi.
Dukungan industri untuk pengembangan biodiesel
Pada kesempatan sama, Kepala Bidang Sustainability Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Rapolo Hutabarat, menyatakan para pelaku industri terus mendukung kebijakan mandatori biodiesel pemerintah. Ia mengatakan sejak 2005, kapasitas produksi biodiesel terus meningkat dan pada 2024 telah mencapai lebih dari 20 juta kl.
Selain biodiesel, Rapolo menyoroti pentingnya pengembangan bahan bakar terbarukan lainnya, seperti bioetanol dan bioavtur.
"Ada beberapa perusahaan bioetanol yang tergabung dalam APROBI. Namun, program bioetanol sejauh ini belum berjalan sesuai regulasi yang ditetapkan. Beberapa daerah, seperti Jawa Timur, sudah mulai menerapkan pencampuran bioetanol, dan kami terus mendorong agar program ini dapat berjalan dengan baik, baik dari sawit maupun minyak nabati lainnya," ujarnya.
Rapolo juga menyoroti urgensi pengembangan bioavtur sebagai bahan bakar ramah lingkungan, terutama untuk industri penerbangan.
"Dari sisi ketahanan energi, penggunaan sawit untuk bioavtur perlu didorong. Apalagi, pada 2026 atau 2027, semua penerbangan yang mendarat di Eropa diwajibkan menggunakan bioavtur," katanya.