Banten, FORTUNE - Industri kelapa sawit Indonesia dinilai masih jauh dari kata tertata. Berbagai persoalan klasik seperti ketidaksesuaian izin lahan, lemahnya sistem transaksi di pasar komoditas, hingga kesenjangan kesejahteraan antara perusahaan besar dan petani kecil masih menghantui sektor andalan ekspor nasional tersebut. Kondisi ini membuat upaya menuju industri sawit yang berkelanjutan dan berkeadilan terasa semakin mendesak.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menilai sudah saatnya Indonesia merevolusi sektor ini. Menurutnya, tanpa langkah pembenahan menyeluruh, industri sawit nasional akan terus tertinggal dari negara pesaing seperti Malaysia yang lebih disiplin dalam tata kelola dan efisiensi produksinya.
“Selama ini, industri sawit Indonesia masih amburadul. Contohnya lahan tidak jelas—dapat izin 10 hektare, tapi yang diambil 12 hektare,” kata Sahat dalam acara Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit di Kota Tangerang Selatan, Kamis (23/10).
Menurut Sahat, persoalan ketidakteraturan itu bukan hanya terjadi di lapangan, tetapi juga dalam mekanisme perdagangan minyak sawit mentah (CPO) di pasar komoditas. Ia menyoroti masih lemahnya pengawasan terhadap transaksi CPO di Indonesia yang berbeda jauh dari sistem di negara tetangga seperti Malaysia.
“Contoh lain, transaksi maksimum margin 3 persen. Kalau di kita bisa lebih—ibaratnya nipu-nipu. Beda dengan Malaysia, kalau marginnya 3 persen, tetap 3 persen,” ujarnya.
Selain tata kelola dan sistem perdagangan, Sahat menyoroti kesenjangan kesejahteraan di antara pelaku industri besar dan petani sawit. Ia menilai petani masih menjadi kelompok yang paling terpinggirkan, padahal mereka adalah tulang punggung industri sawit nasional.
“Perusahaan besar bisa punya gedung-gedung tinggi, aset besar. Petani? Mungkin jadi yang terzalimi. Petani saja mau replanting (peremajaan tanaman) susah,” katanya.
