Jakarta, FORTUNE - Hasil riset 350 Indonesia bertajuk “Stop Burning Our Money” membuat Ikal berpikir ulang tentang portofolio investasinya. Dalam laporan itu, empat bank nasional yang tergabung dalam Inisiatif Keberlanjutan Bank Indonesia (IKBI) yakni BNI, BCA, BRI, dan Mandiri disebut masih menggelontorkan pendanaan ke industri batu bara hingga US$3,5 miliar sejak 2015. Kecuali BNI, saham-saham bank tersebut ia koleksi sejak dua tahun lalu.
Pertimbangan Ikal memasukan tiga bank itu ke dalam portofolionya sederhana saja: mereka masuk dalam daftar SRI Kehati—salah satu indeks berisi emiten dengan nilai environmental, social and governance (ESG) terbaik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kemudian, saat itu harganya sedang murah di pasar saham.
"Dan dari historinya, memang indeks ini kinerjanya lebih bagus waktu itu, dibanding saham-saham LQ45," ujar pekerja lepas itu kepada Fortune Indonesia.
Mulanya Ikal tak punya ketertarikan dengan saham-saham Sri Kehati. Ia mulai selektif membeli saham dengan pertimbangan lingkungan, sosial dan tata kelola itu setelah membaca laporan The Economist tentang perdagangan karbon yang tengah menjadi tren global pada 2020.
Ia sadar, perusahaan-perusahaan dengan kinerja ESG yang buruk—terutama dalam hal lingkungan—bisa dengan mudah jatuh dalam jurang kebangkrutan. Sebab di masa depan, krisis iklim yang disebabkan tingginya intensitas CO2 di permukaan ozon mendorong banyak negara menghargai kredit karbon lebih mahal. Dan perusahaan yang operasionalnya memproduksi emisi dalam jumlah besar, otomatis akan terpukul.
Maka, pilihannya waktu itu jatuh ke perbankan. "Saham-saham bank yang saya beli waktu itu disebut jadi pionir dalam keuangan berkelanjutan, dan kinerjanya memang bagus-bagus," katanya.
Ikal memang belum memutuskan apakah bakal melepas saham di tiga bank yang masih mendanai batu bara itu. Tapi, kegamangannya menggambarkan karakteristik investor kiwari yang mulai tumbuh dan mendominasi pasar saham–para pemuda dengan kepedulian terhadap lingkungan.
BEI mencatat, jumlah investor di pasar modal Indonesia meningkat 92,7 persen 3,88 juta menjadi 7,48 juta pada akhir 2021. Pertumbuhan investor ritel ini ditopang oleh kalangan Milenial (kelahiran 1981-1996) dan Gen-Z (kelahiran 1997 – 2012) atau rentang usia di bawah 40 tahun sebesar 88 persen dari total investor ritel baru.
Sebelum prinsip ESG dikenal luas, kepedulian terhadap lingkungan sering kali hanya dipandang sebagai aksi filantropi. Di sana tak ada orientasi terhadap imbal hasil. Individu dan perusahaan melakukannya dengan sukarela: sebagai bentuk tanggung jawab sosial atau kesadaran akan pentingnya mewariskan bumi yang sehat untuk generasi mendatang.
Kini, keadaannya sedikit berbalik. Tiap orang ingin untung dan pada saat yang sama turut andil menyelamatkan dunia. Tak heran jika beragam produk investasi—yang menawarkan tingkat pengembalian dengan margin tertentu—pun dikemas serba hijau, berkelanjutan atau ramah lingkungan.
Dan di aras global, tren investasi ESG juga mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Laporan Bloomberg Intelligence (BI) pada Januari 2022, misalnya, menunjukkan assets under management (AUM) ESG global pada 2020 mencapai US$35 triliun pada 2020–sepertiga dari total aset global yang dikelola manajer investasi.
Angka tersebut juga menunjukkan kenaikan signifikan secara tahunan, antara lain jika dibandingkan US$30,6 triliun pada 2018 dan US$22,8 triliun pada 2016. Dengan asumsi pertumbuhan tahunan sebesar 15 persen, Bloomberg Intelligence memprediksi total aset ESG dapat melebihi US$41 triliun pada tahun ini dan US$50 triliun pada 2025 mendatang.
Khusus reksa dana dan exchange-traded fund (ETF) berbasis ESG, menurut laporan Morningstar Inc—perusahaan jasa keuangan berpusat di Illinois, AS—total aset yang dikelola manajer investasi naik 53 persen menjadi US$2,7 triliun pada tahun lalu.
Mandiri Manajemen Investasi (MMI), perusahaan dengan dana kelolaan hingga Rp64,7 triliun pada tahun lalu, memanfaatkan sentimen positif terhadap investasi berkelanjutan tersebut dengan meluncurkan reksa dana indeks bertajuk Mandiri Indeks FTSE Indonesia ESG pada medio Mei 2022.
Direktur Utama MMI Aliyahdin Saugi mengatakan, peluncuran produk ini juga merupakan strategi perusahaannya untuk meningkatkan komposisi passive fund yang saat ini masih cukup rendah dibandingkan peers mereka. Namun di luar itu, agaknya, pilihan MMI untuk merilis indeks FTSE Indonesia ESG juga bertaut pada tingginya pertumbuhan eksponensial investasi pasif ESG sepanjang tahun lalu.
Salah satu indikatornya adalah melonjaknya total aset reksa dana indeks iklim dan ETF hingga dua kali lipat di Eropa—kawasan yang menyumbang setengah dari total AUM ESG global—menjadi US$121 miliar pada akhir 2021. “Passive fund ini masih suatu strategi yang diminati oleh investor-investor kami, tergantung dari produknya apa,” ujar pria yang akrab disapa Adi tersebut.
Terbukti, sejak diluncurkan Mei lalu, terdapat animo tinggi dari Agen Penjualan Efek Reksa Dana (APERD) untuk memasarkannya secara massif. Yang mana, proses onboarding di bank masing-masingnya mencapai dua bulan. "Namun, APERD non perbankan kami mencatatkan pertumbuhan AUM yang positif sehingga kami sangat optimis AUM reksa dana ini dapat mencapai Rp200-Rp300 miliar dalam 2 bulan mendatang saat APERD perbankan kami mulai memasarkannya," kata Adi.
Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, menyebut bahwa investasi ESG mengisi gap antara investasi tradisional yang bertumpu pada return dan aktivitas filantropi yang berorientasi pada dampak. Laporan bertajuk ESG And Financial Performance yang dirilis NYU Stern School of Business bersama Rockefeller Asset Management pada 2021 juga mengafirmasi hal tersebut.
Dengan mengkaji lebih dari 1.000 studi yang diterbitkan dalam kurun 2015-2020, makalah setebal 19 halaman itu memaparkan hubungan positif antara performa ESG dengan kinerja keuangan dan harga saham. “Kalau perusahaan memiliki kinerja ESG yang baik, maka kinerja harga saham, finansial, profit, arus kas mereka, sangat mungkin positif atau setidaknya netral,” ujarnya.
Yayasan Kehati sendiri merupakan lembaga yang bertujuan melestarikan, mengelola, dan memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia secara berkelanjutan melalui berbagai cara inovatif. Salah satunya, melalui kerja sama dengan manajer investasi di Indonesia untuk merilis reksa dana maupun ETF berbasis ESG. Per Desember 2021, tercatat ada 11 manajer investasi yang berkolaborasi dengan yayasan tersebut dengan total dana kelolaan lebih dari Rp2,7 triliun.
Kehati juga bermitra dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menerbitkan indeks-indeks saham bertema ESG, salah satunya Sustainable and Responsible Investment (SRI) Kehati yang disebut di awal. Di luar itu, ada ESG Sector Leaders IDX Kehati dan Indeks ESG Quality 45 IDX Kehati.
Di tengah pelemahan pasar modal Indonesia pada kuartal dua 2022 lalu, kinerja indeks-indeks saham berbasis ESG tersebut bernasib lebih baik ketimbang indeks saham bluechip. Sebagai contoh, kinerja IDX ESG Leaders dalam tiga bulan per 22 Juli hanya terkoreksi -7,24 persen, sementara saham-saham LQ45 mengalami koreksi hingga -9,40 persen. Demikian pula jika dibandingkan dengan IDX30 yang -10,20 persen.