NEWS

Adu Akal Indonesia dan Singapura dalam Ruang Udara

Singapura punya kepentingan sebagai hub penerbangan.

Adu Akal Indonesia dan Singapura dalam Ruang UdaraANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc
02 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE  - Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia  Hikmahanto Juwana menilai Singapura berakal panjang dalam perjanjian penyesuaian ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Sebab, jiran Indonesia tersebut tahu apa yg menjadi kepentingannya dan memiliki fokus dalam mempertahankannya.

“Ketika negara besar seperti Indonesia mempunyai kepentingan yang bersinggungan dengan Singapura, seperti FIR, Singapura pun menggunakan kecerdikannya untuk memastikan kepentingannya tidak terganggu,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (2/2).

Sebagai contoh, Hikmahanto menjelaskan Bandara Changi telah lama menjaadi hub bagi penumpang pesawat udara mancanegara. Para penumpang ini tidak bermaksud berkunjung ke Singapura namun bertukar pesawat untuk sampai ke tujuan akhirnya.

“Keberhasilan Singapura menjadikan dirinya sebagai hub penerbangan telah diikuti oleh Dubai. Posisi ini tentu ingin dipertahankan oleh Singapura,” ujar Hikmahanto.

Singapura punya kepentingan

Menurutnya, Singapura mempertahankan kepentingan dengan bermain di level yang sangat terperinci. Ini berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang tidak suka dengan masalah yang sifatnya mendetail.

Dalam negosiasi, ketidakjelian dalam hal-hal kecil berisiko. Hikmahanto berasumsi hal ini telah terjadi dalam perjanjian FIR Indonesia dengan Singapura.

“Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola,” ujarnya.

Dalam pengumuman pemerintah disebutkan bahwa di wilayah tertentu di atas kedaultan Indonesia, tanpa menyebutkan secara spesifik, Indonesia hanya mengelola FIR diatas 37.000 kaki. Sementara 0-37.000 kaki didelegasikan ke Otoritas Penerbangan Singapura.

Padahal, kata Hikmahanto, ketinggian 0-37.000 kaki merupakan wilayah yang sangat penting bagi pesawat udara. Sebab, dalam ketinggian ini, pesawat melakukan pendaratan dan lepas landas. Sementara ketinggian di atas 37.000 kaki, pesawat udara hanya melewati ruang udara yang tentu pengelolaannya pun tidak rumit.  “Lalu apa bedanya dengan yang selama ini berlangsung?” katanya.

Terkait wilayah yang didelegasikan ke Singapura tersebut, Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, buka suara. Menurutnya, hanya 29 persen saja yang didelegasikan kepada operator navigasi Singapura, yakni area yang berada di sekitar Bandara Changi.

Pemberian delegasi terhadap Singapura, kata Adita, karena mempertimbangkan keselamatan penerbangan. Bahkan, pada 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan di Bandara Batam dan Tanjung Pinang. Sebagaimana Indonesia juga mengelola pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah negara lain, yakni Christmas Island, dan Timor Leste.

"Jalan negosiasi untuk menyesuaikan FIR ini bukanlah jalan mudah dan pendek. Namun kecintaan akan Merah Putih dan kebanggaan akan tanah air Indonesia adalah motivasi utama seluruh pihak yang terlibat dalam negosiasi ini. Kami sangat berharap semua pihak dapat bersama-sama mendukung upaya perjuangan  sampai MoU ini efektif dan bisa kita rasakan manfaatnya sebagai bangsa yang berdaulat," kata Adita, Senin (31/1).

Melalui skema dalam perjanjian ini, Indonesia mendelegasikan Pelayanan Jasa Penerbangan secara terbatas (di zona dan ketinggian tertentu kepada otoritas Singapura). Hal ini agar pengawas lalu lintas udara di Singapura, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura di ketinggian tertentu.

Ada gula bagi Indonesia

Selain itu, Hikmahanto menilai Singapura pandai memanfaatkan ancaman menjadi peluang. Sebab, negara kota tersebut juga memberikan pemanis dengan menjanjikan volume investasi yang akan masuk nantinya sebesar US$9,2 miliar.

Padahal, dari perjanjian ini Singapura juga meminta kompensasi Perjanjian Pertahanan atau yang dikenal sebagai Defence Cooperation Agreement (DCA) yang pernah ditandatangani oleh kedua negara pada 2007 dihidupkan kembali. Singapura berharap Perjanjian Pertahanan segera diratifikasi.

“Kini, perjanjian yang sama telah ditandatangani tanpa sedikit pun perubahan. Indonesia seolah lupa pada kehebohan pada tahun 2007,” ungkapnya.Pada tahun tersebut, banyak pihak di Indonesia keberatan. Sampai-sampai presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, urung menerbitkan surat ke DPR untuk dilakukannya pembahasan dan pengesahan Perjanjian Pertahanan tersebut.

Related Topics