NEWS

Fluktuasi Harga Beras Dampak Penurunan Produksi Empat Tahun Terakhir

Produksi padi nasional turun 0,23 persen per tahun.

Fluktuasi Harga Beras Dampak Penurunan Produksi Empat Tahun Terakhirilustrasi petani (unsplash.com/Simon Fanger)
by
14 March 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Guru Besar Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa, mengatakan bahwa kondisi fluktuasi harga beras saat ini karena dampak dari penurunan produksi beras dalam negeri.

Dia menjelaskan dalam rentang 2015 sampai 2022, produksi padi nasional turun 0,23 persen per tahun.

Misalkan, pada 2014 produksi padi mencapai 56,27 juta ton gabah kering giling/GKG. Memang pada 2018 produksi dalam negeri sempat meningkat menjadi 59,2 juta ton. Sedangkan pada 2022, produksi padi hanya 54,75 ton GKG. Artinya terjadi penurunan produksi padi dalam negeri.

“Penurunan produksi empat tahun terakhir akhirnya berdampak serius pada akhir 2022 sehingga harga beras di konsumen meningkat tajam,” kata dia kepada Fortune Indonesia, Selasa (14/3).

Dia mencatat ada kenaikan harga beras di tingkat petani. Pada Mei 2022 harganya telah mulai naik dari Rp7.630 per kilogram menjadi Rp8.294 per kilogram.

Impor beras yang tak perlu

Kenaikan harga tersebut, kata Andreas, tidak terbendung dan menyebabkan pemerintah panik. Pada Desember 2022 diputuskan untuk mengimpor beras 500.000 ton. Penetrasi pasar kemudian dilakukan dengan menggelontorkan beras 100.000 ton beras impor pada Januari 2023, tetapi menurutnya tak berdampak sama sekali untuk mengintervensi pasar. Malahan, harga beras di tingkat petani justru naik dari Rp10.169 per kilogram ke Rp11.086 per kilogram.

Menurutnya, keputusan impor kala itu tidak efektif karena tidak berdasarkan data yang valid. Padahal, berdasarkan angka tetap BPS yang rilis pada awal Maret 2023, produksi padi 2022 memcapai 54,75 juta ton GKG setara 31,54 juta ton beras dan naik 0,61 persen.

“Produksi 2022 tetap menghasilkan kelebihan 1,34 juta ton beras sehingga impor sebenarnya tak perlu,” ujarnya.

Yang terpenting, kata Andreas, dalam memutuskan untuk impor beras adalah mengetahui data stok beras. Namun, hingga kini, Indonesia menurutnya tidak punya data yang bisa dijadikan acuan bersama.

“Setiap institusi memiliki data stok berbeda-beda dan semua tak valid, padahal data itu digunakan untuk memutuskan kebijakan impor beras. Saya menyarankan Badan Pangan Nasional dan BPS menyurvei data stok tersebut dengan dilengkapi sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai,” ujarnya.

Perlu adanya HPP baru

Lonjakan harga beras yang terjadi saat ini membawa berkah bagi petani. Andreas menjelaskan para petani kecil sangat senang. Hal itu terlihat dari pembicaraan di berbagai komunitas dan jaringan tani.

Namun perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 20 Februari 2023 dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras pada 20 Februari 2023 justru menurunkan harga di petani.

GKP di tingkat petani anjlok pada kisaran Rp4.200–4.500 per kilogram, bahkan ada yang Rp3.800 per kilogram. Padahal, batas atas harga pembelian GKP di tingkat petani ditetapkan Rp 4.550 per kilogram, sementara beras medium di gudang Bulog Rp9.000 per kilogram

“Penetapan batas bawah dan atas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras justru memperburuk keadaan,” ujar Andreas.

Dengan memburuknya harga beras di tingkat petani, pada 7 Maret 2023 Badan Pangan Nasional mencabut SE itu. Seiring pencabutan itu, GKP kembali naik.

Demi menekan fluktuasi harga beras, Andreas menyebut, perlu ada penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang baru. Menurutnya hal ini akan meningkatkan kesejahteraan petani.

“Masyarakat perkotaan dan serikat pekerjanya selalu menuntut kenaikan upah setiap tahun, sebaliknya petani padi hanya menderita dalam diam, tak pernah demo menuntut kenaikan harga produk mereka,” ujarnya.

GKP di tingkat petani yang berlaku kini Rp 4.200 per kilogram. Sedangkan, HPP GKP yang diusulkan beberapa asosiasi dan organisasi tani kepada Badan Pangan Nasional pada 2 Maret 2023 berkisar Rp5.400–5.800 per kilogram.

Related Topics