NEWS

Ombudsman: Keputusan Impor Beras Bepotensi Timbulkan Maladministrasi

Keputusan impor beras belum memenuhi 12 indikator.

Ombudsman: Keputusan Impor Beras Bepotensi Timbulkan MaladministrasiAnggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat melihat stok beras di gudang milik Perum Bulog. (Dok. Ombudsman)
by
09 December 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ombudsman RI mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai keputusan impor beras ini belum memenuhi 12 indikator tersebut kecuali sedikit saja, yakni antisipasi krisis pangan dan minimnya stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog.

“Hal ini berpotensi menimbulkan maladministrasi dalam pengambilan keputusan impor beras,” kata Yeka dalam pernyataan, Kamis (8/12).

Merujuk pada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah tahun 2021, terdapat 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras maupun besar CBP sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Indikatornya adalah perkembangan luas lahan, perkembangan potensi produksi padi dan beras nasional, proyeksi ketersediaan CBP, ketersediaan stok CBP pada Perum Bulog, ketersediaan stok beras di rumah tangga, penggilingan dan pedagang, dan perkembangan konsumsi beras per kapita.

Setelah itu, ada indikator perkembangan ekspor dan impor beras, perkembangan harga beras/stabilisasi harga beras, target penyerapan dan penyaluran Perum Bulog atas produksi beras dalam negeri, kalender masa tanam dan masa panen, ancaman produksi pangan, dan keadaan darurat serta krisis pangan.

Polemik perbedaan data

Ombudsman juga menyayangkan adanya perbedaan data antara Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog dengan Kementerian Pertanian. Badan Pangan Nasional menyatakan CBP yang dikelola oleh Perum Bulog berkurang 50 persen dari batas aman stok beras yang 1,2 juta ton per tahun, sedangkan Kementerian Pertanian menyatakan stok beras surplus.

“Polemik yang dipicu oleh perbedaan data stok beras antar K/L terkait sebetulnya merupakan kejadian berulang sebagaimana kegaduhan rencana impor beras untuk keperluan CBP pada awal tahun 2021. Data stok beras hanya sebagian kecil dari banyaknya faktor yang penting diperhatikan oleh pemerintah sebelum mengambil keputusan impor beras untuk CBP,” ujar Yeka.

Data Ombudsman RI, hingga 6 Desember 2022 stok beras total yang dimiliki Bulog mencapai 503 ribu ton yang 61 persennya merupakan CBP. Pihak Bulog memperkirakan pada Desember tahun ini masih harus mengeluarkan stok 200 ribu ton sehingga sisa stok yang ada hanya 300 ribu ton.

Ada selisih stok beras dan kebutuhan

Menurut Yeka, data kebutuhan beras nasional dalam sebulan rata-rata mencapai 2,5 juta ton, dan stok beras minimum sesuai penugasan kepada Perum Bulog dari Rakortas rata-rata sekitar 1,5 juta ton. Terdapat selisih dengan stok beras saat ini yang masih perlu dipenuhi oleh Perum Bulog dengan berbagai skema yang bisa dilakukan.

“Proses pemenuhan kekurangan stok beras yang akan dilakukan dihadapkan pada pilihan yang cukup krusial, dimana ketika pilihan dijatuhkan kepada penyerapan dalam negeri maka akan dihadapkan pada kondisi tingginya harga gabah,” kata Yeka.

Saat ini, harga gabah di penggilingan telah mencapai Rp6.000–6.300 per kilogram, dan hal ini akan berdampak pada harga beras di hilir yang idealnya ada pada rentang Rp11.000–12.000 per kilogram.

Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium adalah Rp9.450–10.250 per kilogram.

Berdasarkan temuan Ombudsman di Provinsi Banten, Bengkulu, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Gorontalo, pada Oktober–November 2022 harga gabah terendah yang ditemukan di lima provinsi tersebut Rp5.150 per kilogram.

“Perum Bulog mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri karena harga pasar gabah sudah diatas Harga Pembelian Pemerintah,” ujar Yeka.

Menurut Ombudsman, pemerintah belum efektif dalam membangun kebijakan seputar beras yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Dia mengatakan kebijakan pemerintah yang mencabut captive market dalam program penyaluran beras Perum Bulog dan lambannya pemerintah dalam merevisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mengakibatkan kinerja pengadaan beras Perum Bulog melorot, dan mempersulit pelaksanaan stabilisasi harga beras.

“Agar kejadian ini tidak berulang di akhir 2023, alangkah patutnya jika pemerintah kembali memikirkan untuk memastikan pengadaan beras program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bersumber dari pengadaan beras Perum Bulog,” kata Yeka.

Related Topics