Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi tanah subur (freepik.com/rawpixel)
Ilustrasi tanah subur (freepik.com/rawpixel)

Intinya sih...

  • Tanah menjadi penyerap karbon daratan terbesar di bumi, mampu menyerap 3,38 miliar ton CO₂ per tahun.

  • 40 persen daratan bumi telah terdegradasi dan dapat meningkat hingga 90 persen pada 2050.

  • Pemerintah Indonesia meluncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru Indonesia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-30 (COP30), di Belém, Brasil mengintensifkan diskusi mengenai pendanaan iklim, adaptasi, hingga transisi hijau. Dalam kesempatan tersebut, terungkap fakta bahwa tanah menjadi penyerap karbon daratan terbesar di bumi bahkan melampaui hutan.

Dalam laporan terkait Save Soil pada 2025, terungkap bahwa tanah seluruh dunia bila dikelola dengan baik potensinya bisa menyerap karbon mencapai 3,38 miliar ton CO₂ per tahun. Jumlah itu setara dengan 27 persen dari target penyerapan emisi global untuk menahan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius. Laporan tersebut disusun oleh Aroura Soil Security Think Tank, IUCN World Commission on Environmental Law (WCEL), dan gerakan global Save Soil

“Kita harus melihat tanah secara holistik. Selama ini, tanah hanya dianggap sebagai kotoran, padahal ia adalah mikrosemesta kehidupan dan gudang karbon serta air,” ujar Praveena Sridhar, CTO Save Soil melalui keterangan resmi di Jakarta, Rabu (19/11).

Indonesia telah luncurkan peta jalan Karbon Biru

Pada gelaran Konferensi Perubahan Iklim ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, Indonesia mendapat “Fossil of the Day”, sebuah penghargaan satir dari koalisi masyarakat sipil global. (JUSTCOP)

Tak hanya itu, dalam laporan tersebut juga memperingatkan bahaya degradasi tanah. Saat ini, 40 persen daratan bumi telah terdegradasi. Bahkan, menurut Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), angka itu dapat meningkat hingga 90 persen pada 2050. Bila degradasi terus berlanjut, tanah secara global bisa melepaskan hingga 4,81 miliar ton CO₂ per tahun, atau lebih dari setengah emisi tahunan Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, laporan ini juga sangat relevan. Berdasarkan data dari United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), 17 persen lahan di Indonesia sudah dalam kondisi terdegradasi. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan, deforestasi, erosi, serta praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Namun, seperti banyak negara lainnya, pemulihan tanah belum menjadi prioritas dalam agenda iklim Indonesia.

Laporan ini menegaskan bahwa pemulihan tanah adalah kunci menjaga iklim, pangan, air, dan stabilitas ekonomi global. Restorasi tanah tidak hanya meningkatkan kesuburan dan retensi air, tetapi juga bisa menyerap karbon dalam skala besar

Di sisi lain, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup juga telah meluncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru Indonesia di sela-sela COP30. Dokumen ini diklaim sebagai komitmen negara dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bahkan, peta jalan ini dirancang dari hasil integrasi ekosistem pesisir dan laut dalam Nationally Determined Contribution ke-2 atau Second NDC Indonesia,

 "Indonesia ingin memastikan bahwa kontribusi karbon biru dapat terintegrasi secara utuh dalam sistem nilai ekonomi karbon dan pasar karbon nasional,” kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.

Integrasi karbon biru dalam Second NDC, lanjut Hanif, menyatakan langkah Indonesia untuk menempatkan mangrove, padang lamun, dan rawa asin pasang surut sebagai bagian strategis upaya pengurangan emisi. Penyelarasan ini sekaligus memperkuat kerangka Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sesuai Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025.

Topics

Editorial Team