NEWS

Faisal Basri Ungkap Bahayanya Struktur Industri Indonesia

Pemerintah disebut tak punya strategi industrialisasi.

Faisal Basri Ungkap Bahayanya Struktur Industri IndonesiaEkonom Senior Faisal Basri. (Doc: Kementerian ESDM)
08 August 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengungkap kelemahan struktur industri Indonesia. Salah satunya adalah kurangnya diversifikasi industri pengolahan non-migas.

Ia menyebutkan dua jenis industri, yakni makanan dan minuman (mamin) serta kimia, farmasi dan botani memegang kontribusi hampir 50 persen—per 2022. 

Industri mamin sendiri memiliki kontribusi 38,3 persen, sementara industri kimia, farmasi, dan botani menyumbang 11,00 persen.

"Dua jenis industri hampir 50 persen,  jadi sangat tidak terdiversifikasi. Sangat bergantung pada sedikit komoditas. Kalau tiga komoditas, tiga jenis industri, 58,2 persen. Kalau empat jenis industri menyumbang dua per tiga dari total industri (67 persen)," ujarnya dalam seminar bertajuk Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Selasa (8/8).

Dalam paparannya, terdapat lima jenis dengan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Selain industri mamin dan kimIa, farmasi dan botani yang menyumbang 49,4 persen, ada industri komputer, produk optikal dan peralatan elektronik serta industri alat transportasi yang kontribusinya masing-masing 8,8 persen. 

Kemudian, ada industri tekstil dan pakaian jadi yang memberikan sumbangsih 6,3 persen. Jika digabung, kelima jenis industri tersebut berkontribusi hingga 73,2 persen. 

"Kalau ada apa-apa pada sawit, misalnya kelenger industrinya. Ini bahayanya, atau mungkin tidak ada perhatian di tempat-tempat lain, tapi tidak terdiversifikasi," ujarnya.

Tidak ada strategi industrialisasi

Selain itu, kerentanan pada struktur industri Indonesia juga terlihat dari besarnya impor bahan baku penolong (intermediate goods) untuk industri. Artinya, terdapat kekosongan pada industri antara yang menyuplai bahan baku untuk hilir dan menjadi offtaker barang produksi industri hulu.

Berdasarkan data BPS pada Januari hingga April 2023, komposisi impor bahan baku penolong mencapai 74,5 persen dari total impor Indonesia. Sementara, impor barang modal hanya mencapai 16,8 persen dan barang konsumsi 8,7 persen.

"[Itu] mencerminkan di tengahnya kosong. Kita punya industri di hulu dan hilir, tapi tengah-tengahnya enggak ada," ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harusnya memberikan insentif besar untuk industri antara untuk mengurangi ketergantungan atas impor bahan baku penolong. Sebab jika tidak demikian, struktur industri Indonesia akan terus-menerus rapuh. 

Ini juga terlihat dari sumbangan industri manufaktur terhadap penerimaan pajak yang terus menurun.

Dalam kurun 2017 hingga 2023, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak berturut-turut mencapai 32 persen, 30 persen, 29 persen, 30 persen, 29 persen dan 27 persen (hingga semester I-2023). 

"Sayangnya tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi," katanya.

Related Topics