NEWS

Indef: Pertumbuhan Industri Era Jokowi Lebih Rendah Dibandingkan SBY

Kontribusi manufaktur terhadap PDB terus merosot.

Indef: Pertumbuhan Industri Era Jokowi Lebih Rendah Dibandingkan SBYilustrasi kawasan industri (unsplash.com/Ehud Neuhaus)
08 August 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, mengatakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan non-migas Indonesia dalam era Presiden Joko Widodo lebih rendah ketimbang zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Berdasarkan data yang diolah lembaganya, PDB industri pengolahan pada kurun 2004–2009 dan 2009–2014 masing-masing 5,10 persen dan 6,10 persen. Sementara pada kurun 2014–2019 dan 2019–2022 masing-masing 4,70 persen dan 2,10 persen.

"Kategorisasi ini cukup menarik. Selama masa kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo itu, pertumbuhan PDB industri nonmigas cenderung turun walaupun katakanlah di 2020-2022 terkena Covid-19," ujarnya dalam seminar bertajuk "Menolak Kutukan Deindustrialisasi", Selasa (8/8).

Meski demikian, dari segi kontribusi terhadap ekspor, industri pengolahan dalam era Presiden Jokowi masih lebih tinggi.

Pada kurun 2004–2009 dan 2009–2014 atau era SBY, kontribusi manufaktur terhadap ekspor masing-masing 43,70 persen dan 36,80 persen. Sementara pada kurun 2014–2019 dan 2019–2022 masing-masing 4,40 persen dan 45,80 persen.

"Pertumbuhannya turun, tapi dari segi [kontribusi] ekspornya mengalami peningkatan," katanya.

Strategi industrialisasi perlu ditinjau ulang 

Menurut Berly, pemerintah perlu memikirkan ulang bagaimana strategi industrialisasi di Indonesia. Sebab, tidak semua jenis industri cocok untuk dikembangkan di Indonesia.

"Masalahnya, sepertinya kita harus memikirkan ulang seperti apa industri di Indonesia. Industri apa yang cocok baik untuk kesejahteraan maupun keberlanjutan," ujarnya.

Hal tersebut cukup penting mengingat kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB terus mengalami penurunan. Bahkan, kontraksi tersebut dipercepat oleh pandemi Covid-19.

Indef mencatat kontribusi manufaktur Indonesia terhadap PDB yang sebesar 18,3 persen pada 2022 masih di bawah China, Thailand, dan Malaysia yang masing-masing sebesar 27,7 persen; 27,0 persen dan 23,5 persen. Bahkan kontribusinya pada triwulan II-2023 kembali turun menjadi 18,25 persen.

"Dari sisi proporsi, Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak lama, tapi kita bisa lihat bahwa selama pandemi 2020–2022 terjadi penurunan cukup tajam atau lebih cepat sementara negara lain Cina, Thailand, Malaysia, bahkan South Africa justru bisa rebound lebih cepat untuk sektor industri," katanya 

Industrialisasi berperan sangat vital bagi kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, industri dapat menyerap banyak tenaga kerja baik yang kurang terampil seperti lulusan SD–SMP.

"Itu mereka dapat income yang setidaknya di atas UMR atau setara dengan UMR dan dapat jaminan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, sehingga dia bisa merencanakan hidupnya, bisa menabung, bisa menyekolahkan anak," ujarnya.

Lantaran itu pula, negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang dan Korea menjadikan industrialisasi sebagai kunci untuk meningkatkan pendapatan serta menurunkan kesenjangan.

"Jadi kalau kita terus mengalami seperti ini, akan sulit keluar dari middle income trap," katanya.

Related Topics