NEWS

Indonesia Butuh Rp16.783 Triliun untuk Capai Netral Karbon di 2060

Negara berkembang berpotensi kesulitan dapat pendanaan.

Indonesia Butuh Rp16.783 Triliun untuk Capai Netral Karbon di 2060PLTS di atap SPBU Pertamina. (Dok. Pertamina)
09 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengungkapkan Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$1,17 miliar atau sekitar Rp16.783 triliun untuk mencapai net zero emissions di sektor ketenagalistrikan pada 2060. 

Angka itu termasuk investasi untuk memensiunkan pembangkit batu bara sebesar US$30,7 juta, serta pembangkit listrik tenaga gas dan minyak masing-masing US$10,351 juta dan US$213 juta. "Untuk bisa mencapai 587 GW power suplai di 2060 di mana 51 persennya berasal dari energi baru terbarukan, kita membutuhkan investasi dalam jumlah besar Jadi," ujarnya dalam Mandiri Investment Outlook 2022, Rabu (9/2).

Lebih lanjut, investasi Rp16,7 kuadriliun itu terdiri dari investasi untuk pembangkit sebesar US$1,043 miliar dan investai transmisi sebesar US$135 miliar. Dengan demikian, jika dihitung dari tahun ini, total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target net zero emissions di tahun 2060 mencapai US$29 miliar atau Rp415,98 triliun.

"Ini adalah peta jalan yang telah kita rencanakan dan kami berharap bisa menarik investor untuk datang dan bergabung dengan proyek yang dilakukan di Indonesia karena target yang kami miliki cukup ambisius untuk bisa diterapkan. Namun kita harus menjalankannya." jelasnya. 

Negara berkembang bisa kesulitan dapat investasi

Dalam kesempatan sama, Kepala ESG dan Keuangan Berkelanjutan Global Sustainability Matters, Aniket Shah, mengatakan selama beberapa tahun terakhir ada beberapa peningkatan inisiatif keuangan yang sangat penting, dikenal sebagai net zero asset managers initiative. Ini adalah kelompok yang terdiri dari 220 manajer aset yang menendatangani kesepakatan untuk mensejajarkan portoflio mereka untuk tujuan net zero emissions.

Menurutnya, ini sangat penting karena untuk pertama kalinya investor tak hanya mengatakan mereka akan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup dalam tiap keputusan yang mereka buat, melainkan juga berkomitmen untuk mensejajarkan portofolio mereka secara khusus dengan target dan matriks tentang arah yang harus dituju dunia.

Meski hal ini merupakan perkembangan menarik untuk dunia, ada risiko yang signifikan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satunya adalah penggunaan intensitas CO2 sebagai matriks untuk memilih portofolio berkarbon rendah.

"Artinya, yang dilihat adalah intensitas CO2 dan emisi CO2 per dolar dari penjualan. Sehingga negara-negara berkembang termasuk Indonesia terlihat lebih tinggi dalam hal CO2e dibandingakan negara berkembang," tuturnya.

Hal ini menurutnya salah kaprah sebab mengabaikan kontribusi masa lalu negara-negara berpendapatan tinggi terhadap perubahan iklim dan mengabaikan rantai pasok perusahaan-perusahaan di berbagai negara untuk produk manufaktur mereka.

"Intensitas CO2 ini bukan yang seharusnya digunakan. Tapi ini mungkin digunakan investor dan membuat negara-negara berkembang lebih sulit mendapatkan modal. Sebab, investor melihat net zero dengan cara menjual aset pasar di megara berkembang mereka dan berinvestasi dalam teknologi sehingga membuat portofolio mereka terlihat net zero, padahal tidak berpengaruh besar pada transisi," jelasnya.

Related Topics