Jakarta, FORTUNE - Perlambatan ekonomi berkepanjangan atau dormant economy mulai menekan ketahanan finansial rumah tangga Indonesia. Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan kecemasan membuat masyarakat cenderung masih menahan pengeluaran pada 2026.
Survei Inventure–Alvara 2025 terhadap 600 responden di Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Bandung, Balikpapan, Medan, dan Makassar memotret tiga faktor utama yang menyebabkan kecemasan masyarakat adalah kenaikan harga bahan pokok (37 persen), penurunan pendapatan pribadi/keluarga (20 persen), dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) (16 persen).
"Selain itu, kenaikan harga bahan pokok langsung mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di tengah inflasi yang terus meningkat," ujarnya dalam diskusi BUSINESS OUTLOOK 2026 bertajuk The Birth of Dormant, Economy The Rise of Frugal Consumer, di Jakarta, Selasa (9/12).
Survei juga menunjukkan tren pelemahan pada hampir seluruh aspek keuangan masyarakat, mulai dari pendapatan, tabungan, hingga investasi. Pada kategori tabungan, 35 persen responden mengaku saldonya menurun, sementara hanya 10 persen yang mengalami peningkatan. Tekanan lebih besar terlihat pada pos investasi, dengan 40 persen responden melaporkan penurunan dan hanya 7 persen yang mencatat kenaikan.
Pergeseran ini memperlihatkan bagaimana fokus masyarakat berpindah dari akumulasi aset jangka panjang ke pemenuhan kebutuhan harian dan pengamanan arus kas. Selain itu, mencerminkan transformasi mendasar dalam perilaku konsumsi.
"Penurunan tabungan, merosotnya investasi, dan pendapatan yang stagnan telah memaksa masyarakat masuk ke mode bertahan. Di fase dormant economy seperti sekarang, konsumen berubah menjadi frugal consumer, yaitu jauh lebih hemat, lebih kritis, dan lebih menuntut nilai. Mereka tidak lagi membeli berdasarkan keinginan, tetapi berdasarkan urgensi dan manfaat nyata yang dirasakan," katanya.
Pendapatan masyarakat pun menghadapi tekanan. Meski 55 persen responden merasa pendapatannya stabil dan cukup, ada 14 persen yang menyatakan pendapatannya tetap tetapi sudah tidak mencukupi kebutuhan. Ini menunjukkan bahwa kestabilan pendapatan tidak selalu sejalan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan, terutama ketika biaya hidup terus meningkat.
CEO Alvara Research Center, Hasannudin Ali, menyebut respons frugal sebagai bentuk adaptasi rasional. Menurutnya, ketahanan finansial rumah tangga mulai rentan ketika pendapatan tidak lagi sebanding dengan kenaikan biaya hidup, maka konsumen mengalihkan fokus dari akumulasi aset menuju pengamanan arus kas harian.
"Dalam kondisi seperti ini, perilaku frugal bukan sekadar pilihan, tetapi strategi adaptif untuk menjaga stabilitas ekonomi keluarga," kata Hasannudin.
Kombinasi dari menurunnya tabungan, melemahnya investasi, dan stagnasi pendapatan memunculkan pola konsumsi baru yang semakin dominan: frugal consumer. Masyarakat kini lebih selektif, hemat, kritis, dan menuntut value-for-money dari setiap pembelian. Lanskap konsumsi 2026 pun masuk ke fase di mana efisiensi, prioritas kebutuhan esensial, dan keputusan berbasis manfaat menjadi norma utama.
