Jakarta, FORTUNE — Indonesia terlihat berupaya menghadapi kebijakan tarif tinggi terbaru yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan tenang. Pemerintah memilih jalur negosiasi sebagai respons utama, yang dengan demikian menunjukkan komitmen terhadap diplomasi dagang demi menjaga stabilitas hubungan ekonomi bilateral dan mendorong pertumbuhan perdagangan di antara kedua negara.
Kebijakan tarif tambahan ini diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu (2/4), dan menyasar lebih dari 60 negara. Indonesia termasuk dalam delapan negara yang mengalami kenaikan tarif signifikan, yakni mencapai 32 persen. Beberapa negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga turut merasakan dampaknya.
Menanggapi kebijakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan Indonesia tidak akan terpancing melakukan aksi balasan dengan menaikkan tarif. Sebaliknya, pemerintah memilih pendekatan lebih konstruktif melalui diplomasi dagang, bekerja sama dengan negara-negara ASEAN lainnya.
“ASEAN akan memutamakan negosiasi. Jadi ASEAN tidak mengambil aksi retaliasi. Indonesia dan Malaysia akan mendorong TIFA (Trade and Investment Framework Agreement),” kata Airlangga dalam acara konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (7/4).
Airlangga menilai TIFA, yang merupakan kerangka kerja sama perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Amerika Serikat sejak 1996, telah banyak mengandung isu yang tidak lagi relevan dengan kondisi perdagangan global saat ini.
Oleh karena itu, Indonesia akan mendorong pembaruan berbagai kebijakan dalam TIFA, mencakup isu-isu tarif, hambatan non-tarif, serta strategi untuk meningkatkan volume perdagangan. Salah satu fokus utamanya adalah upaya untuk mengurangi defisit perdagangan AS terhadap Indonesia yang saat ini mencapai sekitar US$18 miliar.