Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
antarafoto-serapan-tenaga-kerja-di-sektor-kelistrikan-berbasis-ebt-1750922382.jpg
Kementerian Energi dan Sumber Daya menyatakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034 total serapan tenaga kerja di sektor kelistrikan berbasis energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 760.000 pekerja atau 91 persen dari total sebanyak 836.696 tenaga kerja di segmen pembangkit listrik seiring dengan rencana pemerintah mencapai bauran energi bersih hingga 76 persen hingga 2034. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

Intinya sih...

  • Indonesia baru sedikit sekali memanfaatkan total potensi energi terbarukan nasionalnya.

  • Pemerintah menyiapkan langkah strategis dalam memanfaatkan energi hijau.

  • Hasil analisis Rystad Energy menunjukkan kapasitas penangkapan karbon global perlu meningkat hingga 33 kali lipat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Indonesia ternyata baru memanfaatkan kurang dari satu persen dari total potensi energi terbarukan (EBT) nasional yang mencapai 3.700 gigawatt (GW). Padahal, kapasitas energi hijau yang tersedia begitu melimpah, mencakup tenaga surya, angin, air, pasang surut, bioenergi, hingga panas bumi.

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Nurul Ichwan, menyatakan kapasitas energi hijau yang telah terpasang saat ini baru sekitar 15,2 GW. Angka itu sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi maksimal Indonesia.

Agar tidak terlalu jauh tertinggal dalam pemanfaatan energi hijau, pemerintah kini menyiapkan berbagai langkah strategis. Dan salah satu fokus utamanya adalah pembangunan infrastruktur Carbon Capture and Storage (CCS) secara besar-besaran.

Menurut Nurul, pengembangan teknologi ini bukan sekadar upaya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga menjadi kebutuhan ekonomi yang penting.

Pasalnya, teknologi CCS berperan melindungi industri nasional dari kebijakan pajak karbon lintas batas (carbon border adjustment) yang akan diberlakukan oleh Uni Eropa.

“Dengan mengembangkan teknologi ini, kita membangun perlindungan bagi industri berorientasi ekspor, melindungi produk kita dari kebijakan carbon border adjustment Uni Eropa di masa depan, serta memastikan produk Indonesia tetap kompetitif di pasar global,” ujarnya dalam acara The International & Indonesia CCS Forum 2025 di Jakarta, Selasa (7/10).

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi besar dalam peta CCS dunia. Nurul memaparkan kapasitas penyimpanan karbon nasional diperkirakan mencapai 577 gigaton, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi penyimpanan karbon terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan Rusia.

Potensi ini bahkan mampu menampung emisi karbon dari dalam negeri hingga lebih dari 200 tahun.

“Artinya, Indonesia memegang peranan krusial dalam solusi global ini. Potensi penyimpanan karbon yang kita miliki cukup besar untuk menampung emisi domestik maupun negara tetangga, dan ini membuka peluang menjadikan Indonesia sebagai pusat CCS di kawasan Asia,” ujar Nurul.

Hasil analisis Rystad Energy menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan karbon global perlu meningkat hingga 33 kali lipat pada 2035 agar sejalan dengan target iklim dunia. Kondisi ini memperlihatkan urgensi pengembangan CCS sebagai bagian penting dari strategi transisi energi bersih pada masa mendatang.

Pemerintah juga telah memperkuat landasan regulasi guna mendukung pengembangan teknologi hijau, termasuk CCS. Beberapa aturan penting telah diterbitkan, di antaranya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS yang menjadi dasar hukum bagi pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia.

Selain itu, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah mewajibkan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk menerapkan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) paling lambat pada 2060.

 

Topics

Editorial Team