Jakarta, FORTUNE - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan Indonesia membutuhkan investasi sekitar US$2,72 miliar untuk menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebesar 452,7 megawatt (MW) hingga 2034. Pemerintah kini tengah menyiapkan payung hukum baru melalui rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Sampah agar proyek PLTSa bisa dipercepat.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan sejak penerbitan Perpres Nomor 35/2018 tentang percepatan pengelolaan sampah menjadi energi listrik, realisasinya masih minim. Dari 12 kota yang ditetapkan, hanya Surakarta dan Surabaya yang berhasil menghasilkan listrik.
“Sayangnya, tingkat keberhasilannya baru sekitar 16,7 persen,” ujar Yuliot dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengolahan Sampah Menjadi Energi (Waste to Energy) di Wisma Danantara, Selasa (30/9).
Di Surakarta, PLTSa dikelola PT Solo Citra Metro Plasma Power dengan kapasitas 5 MW dari pengolahan 545 ton sampah per hari, beroperasi sejak 2024. Sementara di Surabaya, PT Sumber Organik mengelola 1.000 ton sampah per hari dengan kapasitas 9 MW yang beroperasi sejak Mei 2021. Kedua proyek ini menggunakan skema lelang badan usaha.
Yuliot menekankan perlunya evaluasi dan penyempurnaan regulasi agar kota dengan timbulan sampah di atas 1.000 ton per hari dapat mengolah sampah menjadi energi. Sementara daerah dengan timbulan lebih kecil diharapkan dapat menjalin kerja sama antarwilayah.
“Ke depan, mekanisme seleksi akan dibuat lebih terbuka melalui kompetisi bagi perusahaan yang berminat berinvestasi,” ujarnya.
Pemerintah juga mendorong penggunaan teknologi incineration atau direct combustion, yang dinilai lebih efektif dibandingkan dengan gasifier. Teknologi ini mampu menerima berbagai jenis sampah dengan ketahanan lebih stabil, sehingga menghasilkan listrik dengan kapasitas lebih optimal.
“Incineration ini sudah mulai konstruksi, dan memang paling efektif untuk membakar sampah menjadi energi panas,” kata Yuliot.
Demi mendukung kepastian bisnis, pemerintah menetapkan tarif listrik PLTSa US$20 sen per kilowatt hour (kWh). Ketentuan ini diharapkan mengurangi proses negosiasi panjang antara PLN dan pengembang listrik swasta (IPP).
“Dengan ditetapkan US$20 sen per kWh, maka tidak ada lagi beban tipping fee kepada pemerintah daerah,” kata Yuliot.