Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
musim kemarau
ilustrasi musim kemarau (unsplash.com/Keagan Henman)

Intinya sih...

  • Musim kemarau 2025 berlangsung April-Juni dengan variasi di Indonesia.

  • Proyeksi penting untuk panduan sektor pertanian, kebencanaan, lingkungan, dan kesehatan.

  • Puncak musim kemarau terjadi Juni-Agustus, BMKG mengimbau langkah adaptif bagi berbagai sektor.

Jakarta, FORTUNE – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan musim kemarau 2025 akan berlangsung secara bertahap mulai April hingga Juni, dengan kondisi bervariasi di berbagai wilayah Indonesia.

Proyeksi ini penting sebagai panduan bagi berbagai sektor dalam menghadapi potensi dampak kekeringan maupun peluang pertanian di tengah perubahan cuaca tahunan.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, sejumlah wilayah, seperti bagian timur Lampung, pesisir utara Jawa bagian barat, pesisir Jawa Timur, serta sebagian wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) diperkirakan sudah memasuki musim kemarau sejak April.

Memasuki Mei, sebagian kecil wilayah Sumatera, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, serta Papua bagian selatan akan mulai mengalami peralihan menuju musim kering.

Sementara pada Juni, wilayah musim kemarau diprediksi semakin luas, meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa bagian barat, Kalimantan selatan, serta sebagian Sulawesi dan Papua.

Menurut Dwikorita, musim kemarau 2025 secara umum diperkirakan akan terjadi pada waktu yang sama dengan rata-rata klimatologis (periode 1991–2020) di sekitar 30 persen zona musim (ZOM).

Namun, 29 persen ZOM kemungkinan mengalami keterlambatan, dan 22 persen ZOM akan memasuki musim kemarau lebih awal dari biasanya.

“Wilayah yang mengalami awal musim kemarau sesuai normalnya mencakup Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, sebagian Maluku, dan sebagian Maluku Utara,” ujarnya.

Sementara itu, daerah, seperti Kalimantan Selatan, Bali, NTB, NTT, sebagian wilayah Sulawesi, Maluku Utara, dan Merauke berpotensi mengalami musim kemarau yang lebih lambat dari biasanya.

Dari sisi intensitas, musim kemarau 2025 diprediksi bersifat normal di sekitar 60 persen ZOM. Namun, 26 persen wilayah akan mengalami musim kemarau lebih basah, dan 14 persen lainnya lebih kering dari rata-rata historis.

Wilayah yang diperkirakan akan mengalami musim kering lebih parah, antara lain Sumatera bagian utara, Kalimantan Barat, Sulawesi tengah, Maluku Utara, dan Papua bagian selatan.

Imbauan BMKG

Puncak musim kemarau tahun ini diperkirakan terjadi pada Juni hingga Agustus. Oleh karena itu, BMKG mengimbau berbagai sektor mengambil langkah adaptif.

Untuk sektor pertanian, penyesuaian waktu tanam dan pemilihan varietas tahan kekeringan menjadi langkah strategis, termasuk mengoptimalkan pengelolaan air.

Sementara itu, wilayah yang mengalami musim kemarau lebih basah bisa memanfaatkannya untuk perluasan tanam, tetapi tetap waspada terhadap potensi serangan hama.

Di sektor kebencanaan, kewaspadaan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) perlu ditingkatkan, khususnya di daerah dengan curah hujan rendah. BMKG menyarankan agar lahan gambut dibasahi dan embung air diisi selama masa peralihan ini.

Dari aspek lingkungan dan kesehatan, kualitas udara di daerah perkotaan serta suhu panas dan kelembapan tinggi dapat berdampak terhadap kenyamanan dan kesehatan masyarakat. Karenanya, pengelolaan sumber daya air menjadi krusial bagi sektor energi, irigasi, dan kebutuhan air bersih masyarakat.

BMKG berharap informasi terkait musim kemarau 2025 ini dapat menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan sektor terkait dalam menyusun strategi antisipasi dan adaptasi secara tepat.

Editorial Team