Jakarta, FORTUNE- Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah memutuskan pemberlakuan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia, efektif mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini diprediksi akan memukul telak perekonomian nasional, dengan ancaman kehilangan hingga 1,2 juta lapangan kerja.
Proyeksi suram tersebut merupakan hasil studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang menyoroti dampak langsung kebijakan ini terhadap sektor padat karya seperti pakaian jadi dan alas kaki.
"Estimasi penurunan nilai ekspor Indonesia sebesar Rp105,98 triliun dan pendapatan masyarakat bisa terkoreksi Rp143,87 triliun," kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (8/7).
Studi CELIOS juga memperkirakan, akibat tarif baru ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat signifikan ke level 4,7-4,8 persen secara tahunan (year-on-year/YoY).
Menurut CELIOS, kebijakan tarif ini merupakan puncak dari kegagalan negosiasi dan lemahnya arah kebijakan luar negeri Indonesia. Kegagalan mencegah tarif atas produk baja tahan karat sebelumnya dinilai menjadi peringatan serius yang tidak diantisipasi dengan baik.
Lembaga riset tersebut menilai keputusan Washington lebih dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik—seperti afiliasi Indonesia dalam BRICS dan sikap tegas terkait ekspor mineral—daripada sekadar isu perdagangan. Selain itu, strategi negosiasi Indonesia dinilai keliru karena terlalu bertumpu pada tawaran peningkatan impor migas dari AS yang mencapai US$15,5 miliar.
Akibat kondisi ini, CELIOS mendesak Presiden Prabowo Subianto segera melakukan perombakan (reshuffle) kabinet, terutama pada pos-pos ekonomi dan diplomasi.
“Ini bukan sekadar reshuffle, tapi penyelarasan ulang arah pemerintahan. Jika kabinet tetap diisi oleh figur-figur yang tidak mampu menjawab tantangan global, Indonesia akan semakin tertinggal dan kehilangan momentum,” ujar Bhima.
Peneliti CELIOS lainnya, Yeta Purnama, mengatakan koordinasi antar-kementerian dalam menghadapi krisis ini tampak lemah.
“Indonesia butuh menteri-menteri yang berani menyuarakan kepentingan publik, bukan sekadar menjalankan instruksi politik. Pembaruan arah kebijakan hanya bisa terjadi bila orang-orangnya juga diperbarui,” kata Yeta.
Sebagai perbandingan, CELIOS mencontohkan Vietnam yang berhasil menghindari tarif serupa melalui pendekatan diplomasi yang konsisten dan komitmen investasi nyata di AS. Menurut mereka, Indonesia justru terjebak dalam pendekatan reaktif dan simbolis tanpa fondasi kebijakan yang kuat.