Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung masyarakat Indonesia perubahan iklim mencapai sekitar 0,66 persen hingga 3,45 persen produk domestik bruto (PDB).
Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana ekologis akibat perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan hujan badai.
"Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen dari PDB pada 2030," ujar Febrio dalam diskusi bersama media, Senin (29/11).
Estimasi itu juga lebih besar dari proyeksi USAID pada 2016, yang memprediksi kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia pada 2050 akibat bencana ekologis mencapai Rp132 triliun atau setara dengan 1,4 persen dari nilai PDB Indonesia saat itu.
Lantaran hal tersebut, menurut Febrio, diperlukan berbagai kebijakan agar dampak perubahan iklim bisa segera dimitigasi. Meski demikia hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. BKF memprediksi biaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia hingga 2030 bisa mencapai Rp3.779,63 triliun. Ini berasal dari pendekatan biaya aksi mitigasi di berbagai sektor yang mencapai Rp343,6 triliun per tahun.
Biaya lainnya juga dibutuhkan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 seperti tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Kebutuhan biaya terbesar berasal dari sektor energi dan transportasi mencapai Rp3.500 triliun. Diikuti limbah sekitar Rp181,4 triliun, kehutanan Rp93,28 triliun, pertanian Rp4,04 triliun, dan IPPU Rp920 miliar.
"Diperlukan kebijakan untuk memastikan kebutuhan pendanaan dapat terpenuhi," jelasnya.