Ilustrasi SPBU Pertamina. (Doc: Pertamina)
Berikut adalah kronologi kasus dalam perkara tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina (2018—2023).
1. Peraturan yang seharusnya berlaku
Dalam periode 2018 hingga 2023, pemenuhan pasokan minyak mentah dalam negeri seharusnya mengutamakan sumber dari dalam negeri. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
2. Tiga tersangka awal
Namun, berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP terlibat dalam pengondisian pada Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.
Akibatnya, produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap. Akhirnya, pemenuhan minyak mentah dan produk kilang kemudian dipenuhi melalui impor.
3. Produksi minyak mentah "diatur"
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, minyak mentah dalam negeri dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) juga ditolak dengan berbagai alasan:
Produksi minyak mentah KKKS disebut tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih dalam kisaran Harga Patokan (HPS).
Produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi kualitas yang tidak sesuai, meskipun sebenarnya minyak mentah bagian negara masih sesuai dan bisa diolah setelah penghilangan kadar merkuri atau sulfur.
4. Minyak mentah Indonesia dijual ke luar negeri
Akibat penolakan produksi minyak mentah dalam negeri, akhirnya minyak mentah Indonesia dijual ke luar negeri (ekspor). Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah. Sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
5. Pemufakatan jahat dan manipulasi pengadaan
Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan fakta pemufakatan jahat antara penyelenggara negara (Tersangka SDS, AP, RS, dan YF) dan DMUT/Broker (Tersangka MK, DW, dan GRJ).
Sebelum tender dilakukan, mereka telah menyepakati harga yang sudah diatur untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Pemufakatan ini dilaksanakan dengan cara pengaturan proses pengadaan impor, termasuk:
Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan Tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) meskipun syarat belum terpenuhi, dan mendapatkan persetujuan dari Tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari Tersangka RS untuk produk kilang.
6. Penyalahgunaan pembelian produk kilang
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS terlibat dalam pembelian RON 92 padahal yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 atau lebih rendah. Kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92, suatu tindakan yang tidak diperbolehkan.
7. Mark-up kontrak pengiriman
Setelah pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan adanya mark-up dalam kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Hal ini menyebabkan negara mengeluarkan fee sebesar 13—15% secara melawan hukum, yang menguntungkan Tersangka MKAR.
8. Dampak terhadap harga dan subsidi BBM
Ketika mayoritas kebutuhan minyak dalam negeri dipenuhi dari impor secara melawan hukum, komponen harga dasar yang digunakan untuk penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi tinggi. Akibatnya, pemberian kompensasi dan subsidi BBM dari APBN setiap tahun menjadi mahal.