Tujuh Tersangka Korupsi Minyak, Ada Bos Pertamina Patra Niaga dan PIS

- Kejaksaan Agung menahan tujuh tersangka korupsi minyak di PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
- Kasus ini merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun dari berbagai sumber, termasuk ekspor dan impor minyak mentah serta bahan bakar minyak.
- Modus operasi melibatkan manipulasi impor minyak mentah dan produk kilang oleh pejabat Pertamina serta keterlibatan pihak swasta.
Jakarta, FORTUNE - Kejaksaan Agung resmi menahan tujuh tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina (Persero), mencakup subholding serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada periode 2018–2023.
Kasus ini bukan perkara kecil, karena negara ditaksir mengalami kerugian fantastis hingga Rp193,7 triliun.
Pengumuman penetapan dan penahanan para tersangka disampaikan langsung oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar pada Senin (24/2) malam. Dalam penyelidikannya, tim penyidik telah memeriksa sedikitnya 96 saksi serta dua ahli. Dari jumlah tersebut, tujuh orang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
Mereka yang kini berstatus tersangka antara lain Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (SDS), Dirut PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF), serta Vice President Feed Stock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono (AP).
Pelaku tidak hanya berasal dari Pertamina, tapi juga pihak swasta. Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAN), pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, ikut terseret dalam kasus ini. Begitu pula Dimas Werhaspati (DW), yang berperan sebagai Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim. Tersangka terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ), yang menjabat sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kerry merupakan putra dari pengusaha minyak ternama, Mohammad Riza Chalid.
Menurut Abdul Qohar, proses penetapan tersangka dilakukan setelah banyak saksi dipanggil untuk menjalani pemeriksaan. Hasilnya, ditemukan bukti kuat adanya tindak pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah sangat besar.
"Tim penyidik menyimpulkan dalam ekspose perkara bahwa telah terjadi serangkaian tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Kami memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan para tersangka," kata Qohar dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Senin malam (25/2).
Berdasarkan perhitungan, negara dirugikan pada berbagai sumber: ekspor minyak mentah dalam negeri yang merugikan negara sekitar Rp35 triliun, impor minyak mentah melalui perantara atau broker sebesar Rp2,7 triliun, serta impor bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai Rp9 triliun.
Selain itu, pemberian kompensasi pada 2023 pun merugikan negara hingga Rp126 triliun, dan subsidi BBM menambah beban negara Rp21 triliun.
Modus operasi dan manipulasi impor
Qohar mengatakan sejak 2018 kebijakan yang berlaku mengharuskan pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri berasal dari produksi lokal.
Sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, Pertamina diwajibkan mencari pasokan dari kontraktor dalam negeri sebelum beralih ke impor.
Namun, dugaan skandal korupsi ini bermula dari rekayasa dalam rapat optimalisasi hilir yang dilakukan oleh beberapa pejabat Pertamina. RS, SDS, dan AP diduga sengaja menurunkan produksi kilang dengan dalih optimalisasi. Akibatnya, minyak bumi produksi dalam negeri yang seharusnya diserap malah tidak digunakan.
Minyak mentah yang dihasilkan oleh KKKS kemudian diekspor dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai atau dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional justru mengimpor minyak mentah, dan PT Pertamina Patra Niaga membeli produk kilang dari luar negeri.
Harga yang ditetapkan untuk minyak impor ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi dalam negeri, sehingga terjadi lonjakan harga yang signifikan.
"Kami menemukan adanya manipulasi dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang yang dilakukan oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga," kata Qohar.
Tak hanya itu, tersangka RS, SDS, dan AP juga diduga memenangkan broker minyak mentah serta produk kilang secara ilegal. Bahkan, DW dan GRJ disebut berkomunikasi dengan AP untuk mengamankan harga tinggi sebelum syarat-syarat tertentu terpenuhi.
SDS berperan dalam memberikan persetujuan impor minyak mentah, sementara RS menyetujui impor produk kilang.
Dampak dari praktik ini sangat besar, terutama terhadap harga dasar yang digunakan dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM. HIP menjadi acuan dalam pemberian subsidi dan kompensasi BBM yang setiap tahunnya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Barang bukti dan pasal yang dikenakan

Dalam upaya mengungkap kasus ini, tim penyidik telah menyita sejumlah barang bukti berupa dokumen dan data elektronik yang menguatkan dugaan keterlibatan para tersangka. Setidaknya ada 969 dokumen dan 45 bukti elektronik yang disita.
Lima dari tujuh tersangka juga telah diperiksa lebih dari sekali selama proses penyidikan berlangsung.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, mereka juga dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).