Harga Pangan Dunia Lepas Landas, Indonesia Bisa Terdampak
Harga pangan dunia mencapai level tertinggi sejak 2011.
Jakarta, FORTUNE - Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mencatat harga pangan dunia terus berada dalam tren peningkatan bahkan mencapai level tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Kenaikan harga pangan dunia ini dikhawatirkan berdampak ke Indonesia.
Berdasarkan data FAO, indeks harga pangan dunia sepanjang September mencapai 130,0 poin. Posisi harga tersebut artinya telah meningkat 1,2 persen dari bulan sebelumnya. Bahkan, jika dibandingkan periode yang sama 2020, harga melesat 32,8 persen.
“Kenaikan terakhir indeks harga pangan sebagian besar didorong oleh harga yang lebih tinggi pada komoditas sereal dan minyak nabati. Harga susu dan gula juga menguat, sedangkan harga daging relatif stabil,” demikian FAO dalam keterangan resmi dikutip pada Kamis (7/10).
Harga sereal, misalnya, naik 27,3 persen terutama akibat peningkatan harga gandum. Peningkatan harga komoditas ini terjadi lantaran keterbatasan pasokan ekspor di tengah pulihnya permintaan di level internasional.
Sedangkan, harga minyak nabati menguat didorong oleh kenaikan harga minyak sawit. Harga susu juga tumbuh dipengaruhi oleh keterbatasan pasokan internasional. Sementara, lonjakan harga gula disebabkan penurunan produksi Brasil, negara penghasil gula terbesar dunia.
Menurut FAO, indeks harga pangan dunia saat ini merupakan level tertinggi setidaknya sejak 2011. Reli kenaikan harga pangan ini sudah terjadi sejak September 2020 dengan posisi indeks yang baru mencapai 97,9.
Harga pangan Indonesia
Di Indonesia harga sejumlah komoditas pangan juga terlihat naik. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga minyak goreng, misalnya, naik 15,0 persen secara tahunan menjadi Rp16.500 per kg. Harga daging sapi juga naik 4,8 persen menjadi Rp124 ribu per kg.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, berpendapat ada sejumlah faktor yang menyebabkan harga pangan dunia saat ini berada dalam koridor kenaikan. Salah satunya biaya distribusi yang cukup tinggi akibat keterbatasan kontainer pengangkut.
Di samping itu, kata Yusuf, bayang-bayang kenaikan bahan bakar energi, proses produksi yang lebih banyak untuk beberapa komoditas, dan panen yang lebih cepat untuk hasil pertanian di Amerika Serikat juga turut menyebabkan pergerakan harga pangan dunia. Dia menambahkan, perbedaan nilai tukar juga dapat dijadikan sebagai faktor penyebab.
“Tentu pemerintah perlu memetakan, penyebab harga kenaikan pangan dari berbagai dunia ini karena tadi faktor penyebab bisa berbeda antara satu negara dan dengan komoditas tertentu, Pemantauan perlu dilakukan terutama di negara seperti AS, Cina, dan juga negara pemasok utama,” kata Yusuf kepada Fortune Indonesia, Kamis (7/10).
Yusuf menambahkan pemerintah di dalam negeri juga perlu memastikan pasokan pangan mencukupi serta distribusinya berjalan baik. Hal lain yang juga perlu diantisipasi adalah masalah krisis energi saat ini yang berpotensi merembet ke kenaikan harga pangan.
“Tugas-tugas ini saya kira yang akan menunggu badan pangan nasional, Bulog, dan badan terkait,” katanya. “Otoritas tentu perlu berkoordinasi menyiapakan variasi perencaanaan untuk menjaga pasokan dan harga pangan dalam negeri."
Respons Kementerian Pertanian
Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan pasokan pangan relatif aman hingga akhir tahun ini. Berdasarkan datanya, sejumah komoditas pangan saat ini kondisinya surplus seperti beras (1,12 juta ton), jagung (1,43 juta ton), daging ayam (450 ribu ton), dan minyak goreng (42.500 ton).
“Nilai surplus ini menjadi lebih besar lagi bila memperhitungkan carry over surplus tahun sebelumnya. Beras surplus 8,5 juta ton, jagung 2,8 juta ton, daging ayam 465 ribu ton, dan minyak goreng 618,5 ribu ton,” kata Kepala Pusat Distribusi dan Akses Badan Ketahanan Pangan Kementan, Risfaheri.
Risfaheri menyebut untuk komoditas yang umur simpannya pendek—seperti bawang merah, cabai, dan telur—neraca ketersediaannya selalu surplus. Dia berkata, pemerintah berharap tidak ada gangguan iklim sehingga produksi komoditas itu bisa terjaga.
Dia menambahkan, komoditas pangan yang masih bergantung impor seperti bawang putih, gula konsumsi, dan daging sapi, juga masih surplus sampai dengan akhir tahun. Terlebih jika digabungkan dengan produksi dalam negeri dan impor. Kedelai dikecualikan karena surplusnya memperhitungkan stok tahun sebelumnya.
“Bila rencana pemasukan sesuai harapan, maka stok akhir tahun ini diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan 2-3 bulan pada awal 2022 sehingga gejolak harga yang sering terjadi di awal tahun dapat dihindari,” katanya.