Jakarta, FORTUNE - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kebijakan mandatori campuran etanol pada bensin akan mulai diterapkan pada 2028. Program yang dikenal sebagai E10—yakni bensin dengan kandungan 10 persen etanol—diharapkan menjadi langkah mengurangi ketergantungan impor BBM dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan pentahapan mandatori etanol akan dituangkan melalui keputusan menteri sebagai turunan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2025.
“Kami memprediksi bahwa pada 2028 atau bahkan lebih cepat, mandatori E10 bisa diterapkan,” ujar Eniya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (11/11).
Menurut Eniya, kebijakan ini lahir dari kebutuhan mendesak dalam menekan impor bensin yang saat ini masih sangat tinggi.
“Impor bensin kita mencapai 22,8 juta kiloliter, sementara produksi domestik hanya sekitar 13,84 juta kiloliter. Jika etanol 5 persen diterapkan, maka substitusi impor bisa mencapai 5 persen dari total kebutuhan bensin nasional,” ujarnya.
Ia mengatakan program mandatori bioetanol sejatinya bukan hal baru. Regulasi awalnya telah diatur sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008, yang menargetkan campuran etanol 1 persen pada 2018 dan meningkat menjadi 5 persen pada 2029.
Aturan tersebut kemudian diperbarui pada 2014 dan 2015 lewat Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Namun, implementasi masifnya di pasar masih terkendala sejumlah faktor teknis dan ekonomi.
“Sejak 2023, Pertamina sudah melakukan market trial dengan mencampurkan 5 persen etanol ke bensin di sejumlah SPBU. Produk tersebut dijual dengan nama Green 95 dan saat ini sudah tersedia di 146 SPBU di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta,” ujar Eniya.
Meski demikian, pemerintah menyadari penerapan mandatori E10 akan menghadapi tantangan besar, terutama berkenaan dengan ketersediaan bahan baku, keterbatasan insentif, hingga fluktuasi harga.
“Isu lingkungan dan deforestasi juga harus dicermati. Selain itu, infrastruktur produksi dan distribusi—termasuk fasilitas di terminal bahan bakar minyak (TBBM) dan kapal pengangkut—perlu dipersiapkan dengan matang,” ujarnya.
Untuk itu, ESDM menekankan pentingnya sinergi lintas kementerian dan lembaga, termasuk kerja sama dengan sektor swasta, dalam membangun ekosistem bahan bakar berkelanjutan di Indonesia.
