Jakarta, FORTUNE - Indonesia mencapai kesepakatan dagang strategis dengan Amerika Serikat (AS) yang menurunkan tarif resiprokal untuk produk Tanah Air menjadi 19 persen dari sebelumnya 32 persen. Sebagai gantinya, pemerintah berkomitmen meningkatkan pembelian produk dari AS dengan nilai total US$34 miliar.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menjelaskan langkah ini merupakan strategi memperkuat posisi tawar dalam perundingan dengan AS. Menurutnya, praktik serupa juga dilakukan negara-negara lain dalam negosiasi dagang internasional.
“Kalau kami tadi disampaikan mengenai pembelian ini itu, sebenarnya negara lain juga melakukan,” ujar Budi saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Rabu (16/7).
Untuk mendapatkan pemangkasan tarif tersebut, komitmen pembelian produk dari AS mencakup beberapa sektor utama, antara lain:
Produk pertanian senilai US$4,5 miliar.
Produk energi senilai US$15 miliar.
Pengadaan 50 unit pesawat Boeing senilai US$3,2 miliar.
Layanan perawatan pesawat hingga 2041 senilai US$11,2 miliar.
Budi menjelaskan Indonesia telah melakukan berbagai langkah mitigasi sebelum memulai perundingan, khususnya terkait kebijakan tarif baru yang rencananya berlaku mulai 1 Agustus 2025. Salah satunya adalah pemetaan terhadap 10 produk ekspor utama Indonesia ke AS beserta para pesaingnya.
Menurut Budi, dari pemetaan tersebut, posisi Indonesia masih cukup kompetitif. Bahkan, dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, tarif ekspor Indonesia ke AS tergolong paling rendah.
“Kalau sampai 1 Agustus nanti tarif kita tetap paling baik, ini kesempatan besar buat kita untuk lebih kuat masuk pasar Amerika. Karena dulu saat semua bersaing dengan tarif MFN (most favoured nation) yang sama, sekarang dengan sistem resiprokal tarifnya berbeda-beda,” ujarnya.
Selain berfokus pada akses pasar, Budi menekankan bahwa hubungan dagang ini juga membuka peluang investasi AS di Indonesia, termasuk pada sektor energi seperti minyak.
“Jadi, kalau ada kekhawatiran soal impor minyak, perlu dicatat bahwa nantinya juga akan ada investasi AS di sektor tersebut di Indonesia,” katanya.
Menanggapi soal impor bahan pangan seperti gandum dan kedelai, Budi menegaskan bahwa sebagian besar produk tersebut sudah dikenakan tarif 0 persen dan merupakan bahan baku yang dibutuhkan industri dalam negeri.
“Gandum, kedelai, itu sudah 0 persen tarifnya, dan kita tidak memproduksi. Jadi kita memang butuh untuk mendukung industri dalam negeri. Barang-barang dari AS ini umumnya bahan baku dan barang modal,” ujarnya.
Budi berharap posisi Indonesia tetap menguntungkan hingga kebijakan tarif baru diberlakukan.
“Alhamdulillah, mungkin karena posisi tawar kita bagus, kita dapat tarif yang lebih baik. Mudah-mudahan sampai 1 Agustus kita tetap jadi yang terbaik di antara negara ASEAN,” katanya.