Seiring fenomena aphelion 2025, beredar pesan berantai di media sosial yang mengeklaim bahwa cuaca dingin di Indonesia disebabkan oleh jarak Bumi yang menjauh dari Matahari. Bahkan, informasi tersebut menyebut risiko kesehatan seperti flu, batuk, hingga sesak napas akibat aphelion.
Padahal, secara ilmiah, klaim tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, suhu dingin di Indonesia lebih dipengaruhi oleh fenomena atmosferik lokal, yakni Monsun Australia—angin musiman dari tenggara yang membawa udara kering dan dingin ke wilayah selatan khatulistiwa.
“Hawa dingin sekarang lebih dominan disebabkan oleh kejadian di selatan khatulistiwa, terutama wilayah Jawa Tengah dan Timur, karena adanya udara kering dari Australia,” jelas Ardhasena dalam konferensi pers virtual (7/7).
Udara kering yang masuk selama musim kemarau ini minim uap air, sehingga tidak banyak awan yang terbentuk. Kondisi ini membuat panas yang dipancarkan dari permukaan Bumi pada malam hari langsung terlepas ke luar angkasa, menyebabkan suhu terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari.
Fenomena ini dalam budaya masyarakat Jawa dikenal sebagai mbediding, sensasi dingin menusuk tulang yang umum terjadi selama musim kemarau.