Jakarta, FORTUNE – Fenomena bencana alam banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra Utara, Aceh hingga Sumatra Barat pada penghujung November 2025 telah meninggalkan duka mendalam. Bencana tersebut telah merenggut korban jiwa sebanyak 780 orang dan 564 lainnya masih dinyatakan hilang.
Mirisnya, ketika risiko bencana dalam negeri mulai naik di penghujung tahun, namun anggaran dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) justru turun setiap tahunnya. Tercatat, anggaran badan tersebut mencapai Rp4,92 triliun pada 2024 dan turun menjadi Rp2,01 triliun pada 2025. Bahkan, dalam RAPBN 2026 anggaran BNPB direncanakan hanya Rp491 miliar.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah sedang menghemat anggaran dengan menggeser cara pembiayaan bencana. pemerintah mendorong skema pembiayaan yang lebih berbasis risiko, tidak hanya bertumpu pada belanja reguler BNPB.
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menguatkan skema Pooling Fund Bencana atau Dana Bersama Penanggulangan Bencana yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Bahkan, ada rencana alokasi investasi kepada BPDLH untuk memperkuat ketersediaan dana kebencanaan.
“Masalahnya, bencana tidak hanya soal uang tersedia, tetapi juga kecepatan dan kesiapan. Ini yang sering hilang dari diskusi fiskal. Saat terjadi bencana, BNPB berfungsi seperti pemadam dan pusat komando. Ia bukan hanya kas bantuan, tetapi mesin kesiapsiagaan: stok logistik, dan kemampuan menggerakkan sumber daya lintas kementerian,” kata Achmad kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Jumat (5/12).
Ia menilai upaya penghematan pemerintah saat kondisi darurat kurang tepat. Apalagi, saat bencana tiba dibutuhkan penanggulangan yang sangat cepat karena berhubungan dengan nyawa masyarakat di daerah. “Jika yang dipangkas adalah ‘mesin penanggulangan’, maka kita sedang menukar biaya rutin yang relatif kecil dengan biaya darurat yang jauh lebih besar serta kehilangan nyawa yang tidak bisa dipulihkan,” tegasnya.
Di sisi lain, siklon tropis senyar yang menjadi salah satu penyebab bencana banjir diperkirakan masih akan berlangsung sampai beberapa bulan mendatang. Hal ini kembali menegaskan satu hal: krisis iklim bukan ancaman masa depan melainkan persoalan hari ini. “Pada akhirnya, ukuran negara hadir bukan dari jargon efisiensi, melainkan dari seberapa cepat bantuan tiba dan seberapa banyak tragedi bisa dicegah,” kata Achmad.
Menanggapi sentimen tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa anggaran penanggulangan bencana masih mencukupi. Namun demikian bila masih dibutuhkan, negara siap hadir dan menambah anggaran tersebut.
"BNPB masih punya dana cukup banyak, tapi kalau dia kurang, dia bisa mengajukan dana tambahan dan kita siap. Menunggu dari BNPB, tapi uangnya siap, cukup banyak," kata Purbaya.
