Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-23 at 8.52.01 AM.jpeg
Tim Sar Gabungan berhasil menemukan dua jenazah korban tanah longsor di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Data per Sabtu (22/11) (dok. BNPB)

Intinya sih...

  • Dampak bencana dapat ganggu rantai dan pertumbuhan ekonomi

  • Fenomena cuaca ekstrem terjadi dengan frekuensi lebih rapat dan intensitas lebih tinggi

  • Strategi ke depan harus memadukan mitigasi dan adaptasi secara seimbang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE – Fenomena bencana alam banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra Utara, Aceh hingga Sumatra Barat pada penghujung November 2025 telah meninggalkan duka mendalam. Bencana tersebut telah merenggut korban jiwa sebanyak 780 orang dan 564 lainnya masih dinyatakan hilang. 

Mirisnya, ketika risiko bencana dalam negeri mulai naik di penghujung tahun, namun anggaran dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) justru turun setiap tahunnya. Tercatat, anggaran badan tersebut mencapai Rp4,92 triliun pada 2024 dan turun menjadi Rp2,01 triliun pada 2025. Bahkan, dalam RAPBN 2026 anggaran BNPB direncanakan hanya Rp491 miliar. 

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah sedang menghemat anggaran dengan menggeser cara pembiayaan bencana. pemerintah mendorong skema pembiayaan yang lebih berbasis risiko, tidak hanya bertumpu pada belanja reguler BNPB. 

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menguatkan skema Pooling Fund Bencana atau Dana Bersama Penanggulangan Bencana yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Bahkan, ada rencana alokasi investasi kepada BPDLH untuk memperkuat ketersediaan dana kebencanaan.

“Masalahnya, bencana tidak hanya soal uang tersedia, tetapi juga kecepatan dan kesiapan. Ini yang sering hilang dari diskusi fiskal. Saat terjadi bencana, BNPB berfungsi seperti pemadam dan pusat komando. Ia bukan hanya kas bantuan, tetapi mesin kesiapsiagaan: stok logistik, dan kemampuan menggerakkan sumber daya lintas kementerian,” kata Achmad kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Jumat (5/12).

Ia menilai upaya penghematan pemerintah saat kondisi darurat kurang tepat. Apalagi, saat bencana tiba dibutuhkan penanggulangan yang sangat cepat karena berhubungan dengan nyawa masyarakat di daerah. “Jika yang dipangkas adalah ‘mesin penanggulangan’, maka kita sedang menukar biaya rutin yang relatif kecil dengan biaya darurat yang jauh lebih besar serta kehilangan nyawa yang tidak bisa dipulihkan,” tegasnya.

Di sisi lain, siklon tropis senyar yang menjadi salah satu penyebab bencana banjir diperkirakan masih akan berlangsung sampai beberapa bulan mendatang. Hal ini kembali menegaskan satu hal: krisis iklim bukan ancaman masa depan melainkan persoalan hari ini.  “Pada akhirnya, ukuran negara hadir bukan dari jargon efisiensi, melainkan dari seberapa cepat bantuan tiba dan seberapa banyak tragedi bisa dicegah,” kata Achmad.

Menanggapi sentimen tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa anggaran penanggulangan bencana masih mencukupi. Namun demikian bila masih dibutuhkan, negara siap hadir dan menambah anggaran tersebut.

"BNPB masih punya dana cukup banyak, tapi kalau dia kurang, dia bisa mengajukan dana tambahan dan kita siap. Menunggu dari BNPB, tapi uangnya siap, cukup banyak," kata Purbaya.

Dampak bencana dapat ganggu rantai dan pertumbuhan ekonomi

Tim Sar Gabungan berhasil menemukan dua jenazah korban tanah longsor di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Data per Sabtu (22/11) (dok. BNPB)

Bencana alam seperti banjir bandang, kenaikan permukaan air laut, kenaikan suhu bumi, gelombang panas yang tidak biasa, hingga angin kencang dapat merusak infrastruktur dan menimbulkan kerugian finansial yang signifikan hingga menelan korban jiwa.

Di tengah meningkatnya eskalasi fenomena ini, Stella Septania selaku Pakar Sustainability dari Institute of Certified Sustainability Practitioner (ICSP) Indonesia, menegaskan perlunya perubahan cara pandang dan tindakan cepat dari pemerintah, pelaku industri, serta masyarakat luas. Menurut Stella, selama bertahun-tahun diskusi mengenai krisis iklim sering kali berhenti pada tataran kajian akademik dan laporan risiko. 

Ia menyoroti bahwa fenomena cuaca ekstrem kini terjadi dengan frekuensi lebih rapat dan intensitas lebih tinggi. Data BNPB juga menunjukkan bahwa kerugian akibat bencana hidrometeorologi terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Stella menekankan bahwa dampak finansial dan sosial dari fenomena ini akan mengganggu rantai dan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Seperti kebutuhan rumah tangga, bisnis UMKM, perusahaan besar, hingga anggaran negara.

“Kerusakan infrastruktur, terhentinya operasional industri, hilangnya aset masyarakat, hingga meningkatnya biaya kesehatan akan menciptakan tekanan ekonomi jangka panjang,” kata Stella kepada Fortune Indonesia (5/12).

Sebagai praktisi keberlanjutan, Stella menekankan bahwa strategi ke depan harus memadukan mitigasi dan adaptasi secara seimbang. Ia menyoroti tiga strategi yang harus menjadi prioritas nasional dan korporasi. Pertama, infrastruktur tahan iklim. Investasi pada ketahanan fisik seperti sistem drainase adaptif, early warning system, green infrastructure, dan tata ruang berbasis risiko harus dipercepat.

Kedua, manajemen risiko iklim dalam tata kelola pemerintah & korporasi. Stella menegaskan bahwa pendekatan climate-risk assessment, hingga stress test iklim tidak bisa lagi dianggap sebagai aspek kepatuhan semata, melainkan dasar bagi pengambilan keputusan, yang dimana pengawasan juga harus diperkuat. Ketiga, transisi energi yang konsisten dan terencana.

Editorial Team